Sewaktu saya menulis entry ini, sekujur tubuh saya sedang dipenuhi bercak merah membengkak yang mirip dengan yang disebut orang Sunda sebagai Kaligata, atau orang Jawa lebih suka menyebutnya dengan Biduren.
Tidak terlalu mirip karena Kaligata atau Biduren biasanya tidak merah membara seperti ini.
Bekasnya pun setelah mengempis menjadi kehitaman.
Ini adalah malam ketiga saya tidak bisa tidur karena rasa gatal dan tidak nyaman yang sangat mengganggu.
Dan yang membuat saya sangat jengkel adalah malam ini seharusnya tidak perlu begini rasanya andaikan saja dokter saya mendengarkan kata-kata saya dengan seksama dan meluangkan waktu untuk berpikir dan lebih menganggap serius kondisi saya.
Saya mengalami reaksi alergi terhadap obat atau bahasa kerennya Drug Allergy.
Malam pertama saya menggunakan obat tersebut, saya salah menyimpulkan. Karena sebelumnya saya pernah memakai obat dengan komposisi dan merek yang sama, saya datang ke dokter dan mengeluhkan reaksi alergi di kulit dengan menyalahkan obat jenis lain yang kebetulan saya minum pada saat yang bersamaan.
Dokter yang saya datangi kali ini cukup mendengarkan saya, dan memberikan suntikan netralisir dan menyarankan saya untuk menyetop pemakaian obat yang diduga menyebabkan alergi tersebut.
Obat yang satunya (yang sudah pernah saya pakai) diperbolehkan untuk dilanjutkan.
Malam kedua, serangan datang jam 2 malam, walaupun obat yang diduga awal sebagai penyebab alergi sudah dihentikan. Bercak merah yang membengkak mulai muncul sekitar 3 jam setelah pemakaian obat.
Saya menahan diri untuk tidak pergi ke dokter walaupun sekujur tubuh saya sudah bengkak merata.
Saya pikir sebaiknya saya datang langsung ke spesialisnya, untuk pendapat kedua.
Setelah 6 jam pemakaian, bengkaknya mereda. Hari hampir pagi.
Hari ke 3.
Saya memutuskan untuk meminta pendapat kedua dari dokter spesialis (dokter sebelumnya adalah dokter umum).
Malam ke 3 saya datang ke prakteknya dan menceritakan secara kronologis tentang keluhan saya.
Waktu saya menyampaikan dugaan saya bahwa saya kemungkinan alergi terhadap obat yang memang biasa dikonsumsi oleh saya tersebut, dia tidak mempedulikan pendapat saya.
Dengan ngotot diberikannya lagi obat tersebut dalam resepnya (walaupun jelas2 saya bilang saya sudah punya obatnya di rumah dengan jenis yang persis sama, hanya beda nama paten).
Obat ini harganya cukup premium. Untung saya mengenali nama obat yang ditulis cakar ayam olehnya di dalam resep tersebut dan saya bertanya kepada apotekernya.
Confirm.
Saya diberikan obat yang sama yang saya katakan kemungkinan merupakan penyebab reaksi alergi saya!
Saya batalkan pembelian obat tsb, dan saya hanya menebus obat tambahan lain yang diberikan dokter tersebut.
Oleh karena saya memang penasaran dan keras kepala dan seringkali mengabaikan intuisi saya sendiri, malam ini saya gunakan lagi obat yang saya duga menyebabkan alergi tersebut, sesuai dengan saran dokter spesialis yang sama keras kepalanya dengan saya.
Ternyata intuisi saya yang benar. Padahal saya tahu persis secara genetik memang saya dan keluarga saya punya reaksi alergi yang unpredictable. Tapi saya abaikan intuisi saya.
Dan saya harus menanggung kebodohan saya dan ketidakpedulian dokter dengan 1 malam lagi tidak tidur.
Sudahlah, Mel.
Nikmati saja upah kengototanmu.
Jadi ingat kata Abang, "Dulu kan juga kamu gak alergi udang, terus tiba2 out of the blue kamu alergi dengan udang." "Mungkin ini kasus yang sama, dulu kamu gak alergi dengan obat itu, sekarang alergi."
Abang adalah Engineer, bukan Doctor. Itu mengapa tidak terlalu saya percayai "second opinion" nya.
Apakah ini berarti saya harus mulai berobat kepada Engineer?