Thursday, September 29, 2005

Bu Pipih



Gedung Sekolah itu masih sama seperti dulu, 19 tahun yang lalu, waktu pertama kali aku menjejakkan kaki di dalamnya.
Hanya catnya yang putih berubah menjadi hijau tua.

Bunyi bel yang sayup2 kudengar dari Toko Kue di seberangnya masih sama. Bel yang dulu laksana musik di telingaku karena menandakan berakhirnya jam pelajaran masih terdengar sama merdunya. Suaranya melemparkan aku ke masa SMP dan SMA di gedung itu.
Hatiku tercekat.
Tidak terbayang di masa itu bahwa aku 19 tahun kemudian berdiri di sini, di depan gerbang sekolah, dan mengenang kembali semua yang pernah terjadi di sana.

Kuikuti kata hatiku dan berjalan menuju gerbang sekolahku dulu.

Waktu menunjukan jam 1.30 siang,sekolah sedang waktunya bubaran.
Di antara puluhan murid sekolah yang berlarian keluar gerbang, aku berdiri di tengahnya, menantang arus.
Langkahku ragu, masihkah ada wajah-wajah yang kukenal di situ?
19 tahun bukanlah sebentar. Terakhir kali aku menapakkan kaki di sekolah itu adalah 15-an tahun yang lalu, waktu aku memberikan khabar gembira kepada guru-guruku, bahwa aku lulus UMPTN, yang ternyata hanya menjadi premature euphoria.

Tiba2 sesosok tubuh yang mungil memakai seragam guru sekolah muncul di dekat gerbang.
Berdiri sambil tertawa kepada beberapa anak murid di sekitarnya.
Aku sangat mengenal wajah itu, tapi..benarkah??
Sekarang ia memakai jilbab coklat, dulu rambutnya yang panjang dan keriting adalah trade marknya. Benarkah itu dia?

Aku tanya seorang anak di sebelahku, "Neng, itu Bu Pipih?"
Anak perempuan yang kutanya tersenyum dan berkata, "Iya, Bu."

Bu?????
Aduh, sebegitu tuakah aku kelihatan sekarang sehingga anak SMA memanggilku dengan sebutan "IBU" ?
Sementara Bu Pipih yang aku mengajar aku dulu di SMA tersebut masih terlihat sama seperti dulu. Hanya jilbabnya yang berbeda, menambah wibawanya.

Aku berjalan perlahan ke arah Bu Pipih yang masih tertawa bersama beberapa muridnya.
Tatapan lekatku padanya membuat ia berpaling dan menatapku.

"Bu Pipih???," sapaku seperti dalam mimpi.
Bu Pipih balik menatapku, perlu 2 detik baginya untuk mengumpulkan ingatan siapakah aku yang menegurnya.
Tanganku terkembang, tangisku meledak, dan aku berlari memeluknya.
Bu Pipih balik memelukku. Tubuh mungilnya terbenam di dalam pelukanku, ia terisak di dadaku.

"Amanda, kamana waeeee??"

Aku tersenyum dalam tangisku. Ternyata Bu Pipih mengingat namaku dengan Amanda, bukan namaku yang lebih dikenal oleh teman-teman selama sekolah.

Kami berpelukan, bertangisan dan lucunya kami sudah tidak ingat sekitarnya lagi, dan pada saat kami melonggarkan pelukan baru kami tersadar bahwa anak-anak SMA di sekitar kami sedang bertepuk tangan dengan riuh sambil tertawa-tawa.
Mungkin lucu bagi mereka melihat 2 orang dewasa, salah satunya adalah guru mereka bertangisan di depan umum.

Kami bergandengan menuju sebuah bangku dan melanjutkan pembicaraan kami di sana diiringi tatapan murid2 SMA yang penuh ingin tahu.

Bu Pipih, guru Bahasa Indonesia, dari dulu selalu dekat dengan murid-muridnya.Umurnya pada saat mengajar aku berkisar di akhir 20-an dan jarak usia yang tidak terlalu jauh dengan muridnya itu mungkin yang membuat ia selalu bisa mengerti jalan pikiran anak didiknya dan populer di kalangan mereka.
Akupun yang terhitung paling badung di sekolah, bisa mengandalkan dirinya untuk membelaku pada saat aku dipanggil ke ruang guru untuk 'diadili'.
Mungkin karena walaupun aku badung, tapi aku termasuk murid paling pintar di kelas.
Hanya satu kali ia tidak bisa membelaku, yaitu pada saat Bu Budi mengejarku yang naik ke atas menara air gara-gara aku ketahuan memakai kaos kaki hijau, padahal peraturan sekolah mengharuskan kami memakai kaos kaki putih.
Waktu itu Bu Pipih tidak masuk mengajar dan yah, aku memang sudah keterlaluan :))

Sayang sekali, hanya sebentar waktu yang bisa aku gunakan untuk berbincang-bincang dan menghabiskan rindu. Besok aku harus kembali ke Singapore, dan masih banyak yang harus aku kerjakan sebelum keberangkatan aku besok pagi meninggalkan Bandung.

Bu Pipih menggenggam tanganku pada saat aku pamit. Air mata masih menggenang di kelopak matanya.

"Jangan lupakan Ibu, ya Nak.." "Bawa cucu-cu Ibu lain kali kamu menengok Ibu kemari."
Aku tersenyum padanya, "Bu, saya datang ke sini setelah 15 tahun juga karena saya tidak pernah melupakan Ibu."

Kami berpelukan sekali lagi sebelum akhirnya berpisah dan berjanji untuk tetap saling berhubungan dan bertukar nomor telepon genggam.

Aku pergi meninggalkan gedung sekolahku diiringi lambaian tangan guruku yang paling aku sayang selama sekolah. yang tidak pernah marah kalau aku lupa membuat PR, yang selalu memberikan kesempatan kedua kalau aku lupa mengumpulkan tugas, yang tidak pernah menghakimi aku walaupun di mata guru-guru lain aku nakalnya setengah mati.
Guru yang paling mengerti aku, Bu Pipih.

*****

Sesampainya di Singapore keesokan harinya, aku kirimkan pesan singkat ke telepon genggamnya,
"Bu, saya sudah sampai Singapore. Semoga kita bisa bertemu lagi lain waktu ya Bu."

Tak lama kemudian balasan pesan darinya datang,
"Kok Ibu merasa kehilangan ya? Dari semua anak murid Ibu, cuma kamu yang Ibu merasa seperti anak Ibu beneran.Jangan lupa temui Ibu lagi kalau ke Bandung ya, bawa cucu-cucuku yang manis."

Aku membalasnya lagi,
"Bu, kalau seorang anak murid yang sudah 15 tahun tidak ketemu lalu menemui Ibu lagi sambil menangis, artinya Ibu berhasil menjadi guru yang baik, yang dicintai murid-muridnya. Jangan berhenti menebar kasih sayang Ibu ya, saya sayang sama Ibu."

Waktu balasan pesan darinya datang dengan pernyataan sayangnya padaku lagi, air mataku tergenang kembali.
Seorang guru yang penuh kasih sayang seperti inilah yang diperlukan murid-murid di seluruh dunia.

Untuk apa seorang guru dengan sengaja menjadikan dirinya "Guru Killer" kalau itu tidak membawa kebaikan apapun untuk muridnya?
Untuk apa seorang guru tertawa sinis ketika murid-muridnya tidak berhasil mendapatkan nilai lebih dari 6 karena soal-soal ujian yang diberikannya sengaja dibuat sulit dengan harapan anak-anak didiknya lebih hormat kepadanya.

Yang dia akan dapatkan hanya bisik-bisik kesal di kantin pada jam istirahat, dan doa-doa buruk dari muridnya.
"Semoga Bapak ini sakit perut jadi gak usah datang hari ini.." atau semacam itu.

Siapakah yang akan mendapatkan cinta, hormat, kasih sayang, dan kagum murid-murid yang tidak pernah habis untuk dikenang?

Yup, hanya guru-guru seperti Ibu Pipih :)
100 untuk Ibu ;)

Tuesday, September 20, 2005

Takut Terbang

Besok saya pulang ke Bandung.

Besok saya naik pesawat.

2 kalimat yang menimbulkan 2 perasaan yang jauh berbeda bagi saya.

Kalimat pertama membuat saya bahagia, kalimat kedua membuat saya ingin memasukkan kepala saya ke dalam pasir, dan sembunyi.

Sumpah, saya sangat takut terbang!

Dan phobia ini sesungguhnya baru muncul ketika saya sudah punya suami dan anak.

Duluuu sekali, saya sangat suka terbang, apalagi naik Twin Otter.
Pesawat kecil milik perusahaan tempat Bapak bekerja, yang biasa saya naiki selama 2 jam perjalanan dari dan ke Ujung Pandang.
Pilot2nya pun kebanyakan masih teman Bapak atau tetangga kami di kompleks perusahaan tersebut. Ada Oom Jack Mawuntu bapaknya Toar, Oom Eka bapaknya Dewan, pokoknya apa coba yang lebih menyenangkan daripada perjalanan naik pesawat kecil bermuatan max 18 orang yang disetiri Bapaknya kawan bermain kita sendiri?

Itu dulu.

Saya sekarang sangat phobia terbang dan sudah mimpi buruk bin keringat dingin baru membayangkan bakal naik pesawat saja.

Satu hari sebelum keberangkatan, pasti sudah gelisah.
Waktu berangkat ke Airport, sudah pengen nangis.
Dan pada saat berjalan di belalai menuju pesawat, adrenalin sudah tinggi sekali.

Begitu seatbealt dipasang, saya sudah pasrah.

Saya berdoa (padahal sehari2 suka gak inget), meminta kepada Allah SWT supaya beliau berbaik hati dan mengiringi perjalanan kami hingga selamat sampai ke rumah lagi nanti.
Minta kepada-Nya untuk melindungi (terutama) anak2 saya dan suami saya.
Saya nyaris tidak ingat berdoa untuk diri sendiri, tapi yang penting anak2 dan suami dan orang2 yang saya sayangi selamat.

Mungkin inilah yang terjadi kalau manusia sudah mulai dewasa, mengerti resiko, dan dikombinasikan dengan sifat paranoia dan phobia disuruh naik pesawat bawa anak2 dan kelaurganya. Imajinasi liar kemana2. Bikin takut diri sendiri.

Tapi mau ngomong apa coba?

Dulu waktu kecil, sampai remaja, saya selalu berpikir bahwa yang disediakan di kolong kursi kita itu adalah parasut, bukan pelampung.
Lugu banget ya? (atau cuek)

Waktu akhirnya saya sadar bahwa itu adalah pelampung, hati saya protes.
"Lha, memangnya ini perahu?"

Mulai saat itulah, saya berubah pikiran.
Yang biasanya waktu kecil sangat menikmati naik pesawat bahkan di dalam cuaca buruk waktu naik Twin Otter, sekarang saya gemetar di dalam pesawat Boeing 737 bahkan dalam cuaca terang benderang.

Yang biasanya dulu saya tertawa2 dengan adik saya di dalam pesawat (Bapak dan Mama saya ingat suka juga duduk agak terpisah dari kami), sekarang jadi diam, tegang, dan terus menerus memegang tangan suami.

Terakhir saya pulang ke Jakarta, di dalam pesawat yang agak berguncang, saya mohon supaya suami saya memukul tengkuk saya :

Saya : "Bang...takut!"

Suami: "Idih, malu dong sama anak2.." *nyengir*

Saya : "Sumpah takut!!!" "Pukul aja tengkuk gue biar pingsan deh! "

Suami: "Lah, udah sama kayak Mr.T aja sih loe!"

Saya : "Bodo, yang penting gue kagak usah bangun sampe nyampe ke Cengkareng."

Suami: *lihat kanan kiri* "Pura2 gak kenal aaah.."


Duh..
takut bener nih ngadepin besok.
Doain saya dan keluarga selamat dan baik2 saja di perjalanan ya..
Please..

Thursday, September 08, 2005

Silly Fira

Kuke (Adik gue) : "Kakak, ajarin Bahasa Mandarin dooongg." "Mang Kuke pengen bisa dikit2 nihh."

Fira : " Apa yah, 'ni hao ma' itu 'how are you', terus kalau ada orang nanya dan Mang Kuke gak ngerti, bilang 'wo bu ce tao' aja"

Kuke : "wo bu ce tao?"

Fira : "Iya" "Terus kalau dia terus ngomong Bahasa Mandarin, bilang aja 'wo de hua yi yi tien tien."

Kuke : "Wo de hua yi yi tien tien." " Apa sih artinya?"

Fira : "Artinya : Saya bisa bahasa mandarin sedikit sedikit." "Tapi harus bener Mang Kuke nyebutnya, beda cara nyebut, beda arti."

Kuke : "Whoaa! masaaa???" "wo de hua yi yi tien tien, bener gak nih artinya ?"


Fira : "Hihihihi, itu artinya, 'Your feet stinks!" *ngakak*

Kuke : "Beneraan Kak????"

Fira : *ngakak sejadi2nya berhasil nipu Mang Kuke*

Gue : "hahahaha, gini aja Kuk..kalau elo ditabok, berarti elo ngomong ngaco!"

Kuke : "Geloooo!!"

Wednesday, September 07, 2005

1 Year in Just Shoot Me !!!

Apa yang aku dapatkan setelah 1 tahun blogging di Just Shoot Me ?

1. 26.000 lebih visitor dalam 10 bulan
2. Many, many crazy friends ;)
3. Many, many orang yang yang ngaku baca tapi gak komen.

I'm glad I'm here :)

Happy 1st Anniversary, My Dear Blog :)

When Zaidan Rendra Met The Hidayat Family 2