Malam larut dan dingin sudah memagut suamiku yang bersembunyi di bawah selimutnya.
Rumah ini kecil, bertipe 21 seperti kebanyakan tipe tumah di perumahan sederhana di kota kecil ini, sempit dan lantai belakangnya hanya disemen dan pembatas halaman belakang hanyalah susunan bata yang tidak diplester. Kami baru beberapa bulan pindah ke sini setelah bulan2 pertama pernikahan dihabiskan di dalam rumah bedeng berbataskan tembok terminal Pabrik Pupuk Kujang. Keadaan rumah ini sedikitnya lebih baik daripada rumah lama walaupun sama kecilnya. Tapi minimal tak ada bau amoniak yang menusuk paru2 setiap pagi.
Aku tak bisa tidur.
Kandunganku sudah besar dan walaupun due date-nya masih cukup lama, tapi berat badanku yang melonjak jauh membuat udara sedingin apapun nyaris tak ada pengaruhnya.
Aku berjalan menuju dapur di belakang sambil berharap angin malam yang dingin lolos dari sela2 genteng belakang yang tak diberi plafon bisa menyejukkan tubuhku.
Perkiraanku benar, genteng yang jarang2 yang biasanya aku jengkel melihatnya karena membuatku harus memasak memakai payung ketika hujan, malam ini malah seperti berkah buatku.
Tiba2 bayi di dalam perutku menendang keras.
Sakit tak terkira.
Aku tengok jam dinding di ruang tamu mungilku yang cuma berisi karpet dan bantal, tanpa sofa.
Jam 3.15 pagi.
"Ya Allah, apa harus hari ini?" tanyaku dalam hati.
Sudah sejak 2 minggu sebelumnya perutku selalu sakit setiap tengah malam dan dokter memperkirakan bayiku akan lahir lebih cepat, karena sejarah di keluargaku hampir selalu melahirkan prematur.
Aku tahankan sakit di perutku sambil mengingat2 tanggal berapa ini.
Gajian baru saja beberapa hari yang lalu, cukup aman.
Menurut informasi, biaya melahirkan di Dokter Kandunganku sekitar Rp. 500.000,- Normal. Masih bisa diusahakan cukup.
Waktu sakitnya mulai datang teratur, waktu sudah menunjukkan waktu hampir jam 4 pagi.
Kubangunkan suamiku.
"Bang, kok sakit ya? Sudah waktunya gitu? Apa kontraksi palsu lagi ya?"
Suamiku memicingkan matanya, "Kenapa sayang? Gak bisa tidur lagi?"
Aku mendecak, "Yeeee, dibilangin sakit..bangun dulu atuh, Bang..."
Suamiku langsung terduduk.
"Sakit? Sakit apanya???? Apaaan? Sekarang? Beneran???"
Aku yang sedang kesakitan cuma bisa nyengir melihat gayanya.
Suamiku langsung mengambil tas keperluan untuk ke Rumah Bersalin.
Untungnya karena aku sudah diperingatkan oleh Dokter, maka tas kecil sudah aku siapkan untuk hari H-nya sejak 1 minggu yang lalu.
Tiba2 suamiku berbalik, "Aduh, Yayang..kok jam segini siiih sakitnya? Aduuh kita naik apa yaaaa??"
Waktu menunjukkan hampir subuh.
Mana ada angkutan ke Klinik Bersalin jam segini?
Karena kami tinggal di Cikampek, sementara Kliniknya ada di Karawang, 20 km dari rumah kami, tentunya harus ditempuh dengan angkutan umum Bis Antar Kota atau malah Angkutan Kota biasa.
Pertimbangan kami mengambil Klinik tersebut karena Dokternya dianggap paling kompeten di daerah tempat kami tinggal yang practically in the middle of nowhere.
Tapi, kontraksi subuh2 begini tak terpikirkan sama sekali oleh kami.
Dasar pengantin baru, calon Ayah Ibu yang masih super culun. Harus bagaimana ini?
Aku menggamit tangan suamiku.
"Tenang deh, Bang. Aku masih bisa tahan kok. Jam 5 nanti kita carter angkutan kota aja ya. Kan banyak yang mau ke pasar."
Suamiku menatapku, entah apa yang berkecamuk di hatinya.
Sinar matanya pasrah.
"Yang, kan di belakang ada Bapak yang punya angkot. Aku minta tolong dia aja ya? Kita sewa angkotnya, minta antar ke Karawang?"
Untungnya Bapak itu langsung menyetujui. Harga Rp.50.000,- sekali jalan
Angkot melaju membelah pagi menuju Klinik Bersalin di Karawang.
Bismillah. Mudah2an anakku tidak memutuskan untuk menggulirkan diri di lantai depan Angkot yang sudah karatan itu.
Di tengah perjalanan tiba2 angkot berbelok ke kiri. Seorang petugas retribusi terminal memberi tanda untuk supir agar memasuki terminal tersebut.
Bapak Supir menoleh dengan gelisah, "Neng, maaf..peraturannya harus masuk terminal dulu. Paling 10 menit. Neng gak apa2 kan?"
Aku sudah mau pingsan.
Suamiku ternganga di bangku belakang. Tangannya yang memeluk bahuku gemetar.
Dan sifat dasar orang Palembang-nya keluar. Kepalanya dijulurkan lewat jendela belakang dan ia berteriak keras pada petugas di luar,
"Pak, yang bener aja ini disuruh bayar retribusi dan masuk terminal. Istri saya mau melahirkan, Pak! Angkot ini saya carter! Bapak mau tanggung jawab kalau istri saya kenapa2????"
Petugas tersebut tertegun dan untungnya memutuskan untuk mengalah membiarkan kami langsung pergi.
Jam 6.30 pagi kami sampai di Karawang dan langsung masuk klinik bersalin.
Waktunya berjuang sudah tiba.