Let me tell you a story Part 2
Berita dari suamiku bahwa dia harus pergi ke Singapore dalam waktu dekat merupakan berita gembira sekaligus mengguncang buatku.
Sejak kami berpacaran, belum pernah lebih dari 3 hari kami berpisah.
Tapi kali ini perusahaan barunya di Singapore menetapkan bahwa suamiku setidaknya harus bekerja selama setidaknya 3 minggu pertama di sana.
Sekali lagi kami terbentur faktor uang.
Hari ini aku menghitung diriku beruntung. Seorang temanku tiba2 membayar hutangnya sebesar Rp. 15.000.Cukup untuk hidup sampai akhir bulan.
Mudah2an gajian tidak telat seperti yang kadang2 terjadi.
Aku lelah. Aku bahagia tetapi lelah. Masalah uang seperti tidak kunjung menghilang.
Entah bagaimana caranya kami mendapatkan uang untuk kepergian suamiku ke Singapore ini. Seperti menghadapi buah simalakama. Tidak diterima berarti kami harus menerima terjebak selalu dalam kota kecil ini dan tidak berkembang. Diterima berarti harus mencari pinjaman yang tentunya tidak kecil.
Ingatanku melayang kepada peristiwa 3 tahun yang lalu, kala kami baru saja menikah.
Waktu itu kami betul2 tidak punya apa2 untuk memulai hidup baru. Suamiku baru saja bekerja selama 5 bulan setelah lulus kuliah. Tapi kami beranikan untuk menikah karena aku dan dia tak sanggup untuk berpisah. Aku saat itu masih di Bandung-Jakarta dan dia harus bekerja di Cikampek. Sungguh sakit perpisahan walaupun hanya sementara.
Kami mulai hidup kami dari minus, bukan lagi dari nol.
Aku masih ingat wajah ayahku ketika mengantarkan kami seusai pernikahan ke kota kecil tempat suamiku bekerja sebagai Management Trainee di Perusahaan Poly Ethylene, wajahnya yang biasanya selalu ceria di hadapanku berubah sendu ketika mendapati kamar kecil yang kami sewa per bulan tidak bisa diparkiri mobil halamannya karena masuk ke dalam gang kecil yang becek.
Ketika suamiku turun dari mobil ayahku dan mendahului masuk ke gang, ayahku berbisik padaku,
"Nong, tidak bisa dapat rumah yang bisa masuk mobil ya?"
Aku tersenyum sambil menguatkan hati, "Gak apa2, Bap. Ini kan sementara."
Kamar itu berlantai ubin standar, mempunyai 1 kamar mandi di dalam yang hanya disemen dan 1 pintu yang mengarah keluar, ke dapur yang terbuka, hanya ada tembok berkawat berduri yang membatasi bagian belakangnya.
Setelah ayahku pergi, aku menatap ke sekeliling kamar itu dan berpikir dalam hati, "Not bad. Kamar kost-ku juga tidak mewah selama di Bandung."
Tanganku menggenggam amplop uang yang tadi diselipkan ayahku di tanganku. Aku sempat ingin menolak, tapi dia ayahku, wajar kalau dia ingin membantu di awal pernikahan kami.
Kubuka amplop itu. Subhanallah, ada Rp. 2.500.000,- di dalamnya.
Jumlah terbesar yang pernah aku pegang seumur hidupku.
Aku merasa jadi orang paling kaya sedunia!!
Sore itu juga kuajak suamiku membeli perabot rumah dan dapur.
Dan hari itu juga aku menemui satu kenyataan hidup :
Rp. 2.500.000,- itu tidak banyak kalau dibelikan barang perabotan rumah dan dapur.
Pulang ke rumah, setelah membeli kasur, tempat tidur, lemari plastik, kompor minyak, gelas, piring, seprei, alat mandi dll, uang itu tinggal bersisa Rp. 700.000 lagi.
Tak apa lah, yang penting sudah bisa tidur dan masak dengan nyaman.
Aku salah.
Malam itu aku menyikat kamar mandi. Membuka saringan air di lantainya, dan menemukan bahwa ternyata itu bukan hanya saluran pembuangan air, tetapi Rumah Gadang-nya kecoak.
Nenek buyut, Kakek buyut sampai cicit2nya hidup di sana dan mulai merambat menaiki lobang yang terbuka.
Kuhitung sekali lintas, kuperkirakan ada sekitar 200 kecoak di sana.
Oh My God.
Untung aku tak takut kecoak. Kuambil Baygon dan kusemprot mahluk2 tersebut sambil berteriak,
"Duh, maaf ya. Dulu mungkin ini rumahmu, tapi ini sekarang kamar mandiku! You are not welcome here!"
Itu kejutan nomer 1.
Kejutan nomer 2 terjadi di pagi harinya.
Kami terbangun saat azan subuh. Tapi sebenarnya bukan azan yang membangunkan kami, tetapi bau menusuk hidung yang membuat aku dan suamiku seketika mual.
Aku menyodok pelan tangan suamiku, "Yang, bau apa ya ini?"
Suamiku memicingkan mata dan bertanya, "Tadi malam Yayang pipis gak disiram bener kali ya?"
Aku menyodok pinggangnya kali ini. Iseng betul dia.
Penasaran aku mencari2 asal bau dan mengendus-endus keliling kamar.
Akhirnya kubuka pintu yang menghubungkan kamar dengan dapur darurat kami.
Aku berseru kecil pada suamiku, "Yang! Tembok pembatas di belakang ini membatasi dengan apa sih?"
Suamiku dengan terkantuk2 datang ke belakang sambil menggerutu, "Gak tau ya, gak pernah lihat. Aku kan juga baru 1 malam di sini."
Aku mencolek tangannya, "Coba intip."
Suamiku tampak enggan, tapi mungkin demi pengantinnya dia akhirnya bersedia naik ke atas bangku kecil yang aku siapkan.
"Alamak! Di belakang kita ini ada pabrik Pupuk Kujang, Yang. Kita tepat berada di sebelah parkiran truknya. Dan yang baunya bujubuneng itu adalah truk amoniak!"
Aku tak tau apakah mau tertawa atau menangis.