Tulisan ini adalah sumbangan dari Mamaku. Cerita tentang banjir yang sampai sekarang belum selesai. Lanjutan ceritanya di pengungsian, kalau ada yang tertarik, ntar aku tagih :))B A N J I R
By Iesye Martini
Kupakai baju merah maroonku. Baju tangan panjang tunik dengan longdress merah maroon sama persis dengan blousenya, kubeli di toko terkenal di Amerika sana walau dengan harga sale. Kusiapkan pula sepatu bootku. Segala accessories buat ke pesta kupilihdengan cermat . Maklum sejak petualanganku di Negara paman Sam menjadi “buruh” ( aku ambil paket pensiun cepat dari salah satu oil company ternama dan hengkang ke Amerika buat mencari pengalaman di tahun 2001 setelah sebelumnya di tahun 1998 aku menjajagi possibilitiesnya ), baru pertama lagi aku pesta di tempat yang terhormat seperti hotel ini. Aku berangkat ke pesta itu dari kantor.
Di sana aku jadi seksi “ sibuk “ , penerima tamu tamu terhormat sambil aku juga bingung siapa saja yang datang. Aku tidak mengenal wajah wajah itu, maklum 9 tahun sudah aku meninggalkan dunia perminyakan dan dunia orang orang terhormat. Aku kerja sebagai blue collar worker di Amrik sana.
Sedang aku menikmati lantunan cantik dari lagu lagu latin, cellphone ku berdering.
Iparku telpon “ Ceu , Banjir masuk daerah kita. Entah si Dede ada dimana karena aku gak bisa masuk sana, sudah sepinggang airnya “
Kepalaku serasa tertimpa durian runtuh, sejenak aku tidak bisa berfikir.
Aku sms bossku, sekjen di organisasi tersebut ( aku bekerja di organisasi teknik perminyakan di Jakarta ) . “ Mas, rumahku kebanjiran, aku harus segera pulang “.
Dengan tidak menghiraukan lagi jawabannya, aku berlari ke depan hotel dan meminta orang di car call untuk memanggilkan taxi.
Berdetak jantungku. Aduh, aku menyesal pergi ke pesta ini. Sejak kemarin malam hujan deras tercurah di Jakarta, dan seharusnya aku sudah menduga akan banjir. Bagaimana nasib “ Dede “ anak bungsuku ?
Suamiku tidak di Indonesia, jelas dia sih tidak akan bisa berbuat apa apa. Aku semakin merasa bersalah terhadap anakku Razzaq ( 9 tahun ) karena telah meninggalkan rumah padahal seharusnya aku ada di rumah.
Taxi melaju kearah rumahku di Ciledug, tiba tiba barisan panjang mobil mobil menghalangi perjalanan taxi tsb “ Bu, ini macet,jangan jangan perjalanan ke rumah Ibu sudah terhalang banjir “ kata supir taxi menoleh padaku.
Aku menarik napas panjang. “ Duh, perjalanan harus kulanjutkan tanpa taxi ini , apakah aku bisa sampai rumah ??” hatiku berkata. Tiba tiba saja aku merasa sangat lelah.
Hujan masih mengguyuri Jakarta dengan derasnya. Celingukan aku mencari warung. Akan kubeli beberapa potong kue, lilin dan korek api, siapa tahu aku memerlukannya.
Rupanya setelah beberapa meter melaju, taxi itu sudah tidak bisa lagi berjalan. Aku harus ambil keputusan cepat. Tak satupun ojek yang bisa kupergunakan. Semua orang nampak tidak perduli dengan nasib orang lain, sibuk menyelamatkan diri masing masing.
Kukeluarkan kepalaku dari jendela taxi. Mata minusku mencoba menembus kegelapan. Haduuuh…Ciledug masih sekitar 10 kilometer dari Meruya Ilir. Jarak yang amat dekat jika tidak dihalangi banjir.
Kuberanikan diri menyapa satu dua pengendara motor. Sepatu bootku yang berhak tinggi rasanya menjadi penghalang nomor satu untuk bergerak padahal biasanya aku suka sekali mempergunakan sepatu ini kini rasanya ingin sekali kubuang sepatu ini.
Longdress maroonku ku menghalangi langkahku untuk berjalan normal dalam tumpahan hujan ini. Untung aku masih menggunakan legging di dalamnya, sehingga sobekan panjang di belakang longdress ini tidak menampakkan auratku ( aku berjilbab ).
Sekali lagi aku menyapa manis pengendara motor di bawah guyuran hujan deras “ Mas, kalau ke Ciledug aku ikut dong , senyum kupasang lebar lebar biar dia mengira aku ramah dan manis ( padahal sehari harinya aku dikenal berwajah jutek walau aku merasa aku sih biasa biasa saja ).
Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang mau ku ikuti, kasihan barangkali dengan suaraku yang menghiba dan sorot mataku yang memelas.
Sigap kuangkat longdressku, legging sewarna kulit nampak membungkus pahaku. Dibawahnya sepatu boot sampai sebetis hitam sudah mulai basah.
Aku angkat kakiku dan menaiki motor di belakang. Hujan semakin deras, cipratannya yang keras membuat mukaku pedih. Aku mulai berdoa dibawah curahan air hujan yang mengguyuri kami.
Baru saja motor melaju sekitar 5 meter, genangan air sekitar 3 meter menghadang kami. Haduuuuuh. Rasanya bukan main sedihnya. Bagaimana aku sampai di rumah, dan bagaimana kabar Dede anakku.
Tidak semata mata Allah memberikan cobaan kepada mahluknya kecuali mereka bisa menyelesaikannya. Kalimat itu menghibur diriku.
Si pengendara motor yang ternyata bernama Mas Yayat memintaku untuk mempercayainya . Dia akan menyelamatkan aku sampai ke rumah. Katanya.
Aku berterima kasih pada ALLAH , begitu baik mengirim malaikatnya disaat aku tidak tahu harus berbuat apa.
Perjalanan kami sampai rumah harus juga melewati phase menaiki gerobak dan menunggu motor Yayat di bersihkan businya. Dengan susah payah dan dengan membutuhkan waktu sekitar 3 jam , aku sampai di depan gerbang perumahanku.
Masya ALLAH….. air sudah melewati pinggang, dimana mana cuma lautan air yang nampak dan juga orang yang sibuk hilir mudik menyelamatkan diri.
Kuhela napas panjang, kutatap mata penolongku . Aku tak berkata kata padanya, rasanya ingin nangis, tapi air mata itu tak keluar.
“ Ibu jangan khawatir. Saya akan antar ibu sampai masuk rumah “.
Alhamdulillah.. Tuhan Maha Pengasih.
Dengan doa aku berjalan melewati air sepinggang tadi, diiringi Yayat di sampingku. Derasnya arus terasa olehku. Sepatuku sudah dipenuhi air. Tasku pun sudah semakin berat. Belum lagi bajuku semakin memberati langkahku.
Sampailah di depan rumah. Kupanggil nama pembantuku. Beberapa kali. Akhirnya dia turun dari lantai dua membukakan pintu. Didalam rumahku nampak kursi, meja , meja computer, kulkas, rak dan lain lain bergelimpangan dan mengambang di atas air. Lemari kecil tempat aku menyimpan souvenir souvenir sudah tergelipang dan isinya sudah amburadul. Kuhela napas panjang kembali….Aku baru saja merapikan rumah dan mengisi rumah ini 3 bulan yang lalu, setelah tahun 2002 banjir melanda Jakarta dan meluluh lantakan isi rumahku. Pada saat itu aku tidak berada di Indonesia. Rumah kutinggal kosong.
Tetapi aku tetap bersyukur aku masih selamat. Kunaiki tangga ke lantai dua setelah aku berterima kasih pada penolongku dan memberikan uang ala kadarnya sebagai ucapan terima kasih.
Kubuka baju dan segala perlengkapannya. Aku terhenyak, duduk di lantai dua kamar ini, tercenung.
Cellphone berbunyi, Sms masuk. Temanku mengabarkan anakku selamat di rumah temanku yang lain. Alhamdulillah.
Kupandang air di bawah tanggaku, banyak yang masih bisa diselamatkan.Baju dan semua barang elektronik di bawa temanku ke lantai dua. Alhamdulilah wa syukurillah
Jam 3 dini hari ketika mataku akan mulai terpejam, listrik dimatikan. Bersyukur aku membeli lilin. Kunyalakan lilin. Lapar tak kurasa lagi. Aku sibuk dengan rencana setelah banjir. Apa yang sebaiknya kulakukan.
Aku tertidur 2 jam ..ketika kubuka mata ini,kulirik bawah tanggaku air sudah menggenangi rumahku lebih dari tadi malam . Sudah diatas kepalaku sekarang jika aku berdiri disitu. Ya ALLAH bagaimana caranya aku keluar rumah. ????
Perutku berbunyi….Lapar…aku bekal biscuit warung tadi malam .. Kumakan sedikit demi sedikit. Menjaga agar persediaanku tidak cepat habis. Ada Aqua 2 botol. Satu buat aku, yang lain kuberikan pada pembantuku. Kupandangi barang barangku yang berserakan di mana mana. Ya ALLAH…..JIka engkau Mau, apapun bisa Kau Lakukan dalam sekejap mata saja.
Tanpa terasa aku tertidur kembali , maklum perjalanan dari Semanggi ke rumah menembus badai, mengarungi lautan juga kejadian kejadian yang kualami membuat aku letih dan lelah.
Jam 10.00 pagi, rumahku digedor. “ Bu bu..mau keluar enggak ? Ayok Bu, nanti air naik lagi, ibu gak bisa keluar!! “Para Team SAR rupanya sudah datang untuk membantu warga.
Aku bangkit, kulihat air kecoklatan yang menggenangi rumahku. Ya Allah, apakah aku bisa merenangi lautan air coklat itu ?? Sementara barang barangku berserakan menghalangi jalan keluarku
Kuberanikan diri. Ku turuni tangga, kucoba ku masukkan kakiku ke dalam air. Dasarnya tak bisa kusentuh. Aduuuuuh. Tinggiku 166 cm. Untuk perempuan kebanyakan aku sudah tinggi. Kalau dasar lantai ini tak bisa kusentuh, berapa meter kedalaman air ini ???
Teriakan di luar agar aku dan pembantuku keluar rumah semakin keras. Rumah ini tadi malam kukunci. Jika aku keluar rumah jelas harus melewati pintu yang terkunci tadi padahal aku tak sanggup membuka kuncinya karena air sudah setinggi pintu.
“ Hai, Bu..Keluar !! Ayok Bu, keluar, jika tidak kami tidak bisa menolong Ibu !! Teriak dari salah satu team SAR.
“ Aku takut, aku gak berani !! Airnya dalam, pintunya terkunci !! Aku gak mau mati konyol ! Dobrak aja pintunya !! “ Kataku berkeras.
Akhirnya karena aku bergeming untuk tidak keluar maka mereka mencoba mendobrak pintu. Kudengar suara salah satu dari mereka memberikan aba aba dan yang lainnya mendobrak dengan bahu mereka.
Sudah setengah jam lewat. Tak ada yang terjadi. Pintu tersebut tetap tak terbuka. Gedoran demi dobrakan tidak bisa membuka pintu tersebut. Akhirnya salah satu dari mereka menggedor ventilasiku dan alhamdulillah…Team SAR yang berbadan kecil menerobos ventilasi dan membuka kunci pintuku dari dalam. Seketika pintuku terkuak lebar. Mereka bertepuk tangan.
“ Ibu..Ibu.pintu sudah terbuka, silakan keluar…” teriak Team SAR dari luar. Mereka menerobos masuk dengan membawa ban .
Setelah bersusah payah, selulup di dalam air setinggi 2 meter , dengan bantuan Team SAR yang ganteng ganteng dan berbadan tegap itu, aku dan pembantuku lolos dari rumah.
Di depan rumah aku di tunggu rakit yang akan membawaku ke tempat pengungsian.
Banjir ..oh banjir….berapa kali lagi aku harus mengalami banjir seperti ini ?? Wallahu alam. Sejak kini, aku harus selalu siap menghadapinya.