Bu Pipih
Gedung Sekolah itu masih sama seperti dulu, 19 tahun yang lalu, waktu pertama kali aku menjejakkan kaki di dalamnya.
Hanya catnya yang putih berubah menjadi hijau tua.
Bunyi bel yang sayup2 kudengar dari Toko Kue di seberangnya masih sama. Bel yang dulu laksana musik di telingaku karena menandakan berakhirnya jam pelajaran masih terdengar sama merdunya. Suaranya melemparkan aku ke masa SMP dan SMA di gedung itu.
Hatiku tercekat.
Tidak terbayang di masa itu bahwa aku 19 tahun kemudian berdiri di sini, di depan gerbang sekolah, dan mengenang kembali semua yang pernah terjadi di sana.
Kuikuti kata hatiku dan berjalan menuju gerbang sekolahku dulu.
Waktu menunjukan jam 1.30 siang,sekolah sedang waktunya bubaran.
Di antara puluhan murid sekolah yang berlarian keluar gerbang, aku berdiri di tengahnya, menantang arus.
Langkahku ragu, masihkah ada wajah-wajah yang kukenal di situ?
19 tahun bukanlah sebentar. Terakhir kali aku menapakkan kaki di sekolah itu adalah 15-an tahun yang lalu, waktu aku memberikan khabar gembira kepada guru-guruku, bahwa aku lulus UMPTN, yang ternyata hanya menjadi premature euphoria.
Tiba2 sesosok tubuh yang mungil memakai seragam guru sekolah muncul di dekat gerbang.
Berdiri sambil tertawa kepada beberapa anak murid di sekitarnya.
Aku sangat mengenal wajah itu, tapi..benarkah??
Sekarang ia memakai jilbab coklat, dulu rambutnya yang panjang dan keriting adalah trade marknya. Benarkah itu dia?
Aku tanya seorang anak di sebelahku, "Neng, itu Bu Pipih?"
Anak perempuan yang kutanya tersenyum dan berkata, "Iya, Bu."
Bu?????
Aduh, sebegitu tuakah aku kelihatan sekarang sehingga anak SMA memanggilku dengan sebutan "IBU" ?
Sementara Bu Pipih yang aku mengajar aku dulu di SMA tersebut masih terlihat sama seperti dulu. Hanya jilbabnya yang berbeda, menambah wibawanya.
Aku berjalan perlahan ke arah Bu Pipih yang masih tertawa bersama beberapa muridnya.
Tatapan lekatku padanya membuat ia berpaling dan menatapku.
"Bu Pipih???," sapaku seperti dalam mimpi.
Bu Pipih balik menatapku, perlu 2 detik baginya untuk mengumpulkan ingatan siapakah aku yang menegurnya.
Tanganku terkembang, tangisku meledak, dan aku berlari memeluknya.
Bu Pipih balik memelukku. Tubuh mungilnya terbenam di dalam pelukanku, ia terisak di dadaku.
"Amanda, kamana waeeee??"
Aku tersenyum dalam tangisku. Ternyata Bu Pipih mengingat namaku dengan Amanda, bukan namaku yang lebih dikenal oleh teman-teman selama sekolah.
Kami berpelukan, bertangisan dan lucunya kami sudah tidak ingat sekitarnya lagi, dan pada saat kami melonggarkan pelukan baru kami tersadar bahwa anak-anak SMA di sekitar kami sedang bertepuk tangan dengan riuh sambil tertawa-tawa.
Mungkin lucu bagi mereka melihat 2 orang dewasa, salah satunya adalah guru mereka bertangisan di depan umum.
Kami bergandengan menuju sebuah bangku dan melanjutkan pembicaraan kami di sana diiringi tatapan murid2 SMA yang penuh ingin tahu.
Bu Pipih, guru Bahasa Indonesia, dari dulu selalu dekat dengan murid-muridnya.Umurnya pada saat mengajar aku berkisar di akhir 20-an dan jarak usia yang tidak terlalu jauh dengan muridnya itu mungkin yang membuat ia selalu bisa mengerti jalan pikiran anak didiknya dan populer di kalangan mereka.
Akupun yang terhitung paling badung di sekolah, bisa mengandalkan dirinya untuk membelaku pada saat aku dipanggil ke ruang guru untuk 'diadili'.
Mungkin karena walaupun aku badung, tapi aku termasuk murid paling pintar di kelas.
Hanya satu kali ia tidak bisa membelaku, yaitu pada saat Bu Budi mengejarku yang naik ke atas menara air gara-gara aku ketahuan memakai kaos kaki hijau, padahal peraturan sekolah mengharuskan kami memakai kaos kaki putih.
Waktu itu Bu Pipih tidak masuk mengajar dan yah, aku memang sudah keterlaluan :))
Sayang sekali, hanya sebentar waktu yang bisa aku gunakan untuk berbincang-bincang dan menghabiskan rindu. Besok aku harus kembali ke Singapore, dan masih banyak yang harus aku kerjakan sebelum keberangkatan aku besok pagi meninggalkan Bandung.
Bu Pipih menggenggam tanganku pada saat aku pamit. Air mata masih menggenang di kelopak matanya.
"Jangan lupakan Ibu, ya Nak.." "Bawa cucu-cu Ibu lain kali kamu menengok Ibu kemari."
Aku tersenyum padanya, "Bu, saya datang ke sini setelah 15 tahun juga karena saya tidak pernah melupakan Ibu."
Kami berpelukan sekali lagi sebelum akhirnya berpisah dan berjanji untuk tetap saling berhubungan dan bertukar nomor telepon genggam.
Aku pergi meninggalkan gedung sekolahku diiringi lambaian tangan guruku yang paling aku sayang selama sekolah. yang tidak pernah marah kalau aku lupa membuat PR, yang selalu memberikan kesempatan kedua kalau aku lupa mengumpulkan tugas, yang tidak pernah menghakimi aku walaupun di mata guru-guru lain aku nakalnya setengah mati.
Guru yang paling mengerti aku, Bu Pipih.
*****
Sesampainya di Singapore keesokan harinya, aku kirimkan pesan singkat ke telepon genggamnya,
"Bu, saya sudah sampai Singapore. Semoga kita bisa bertemu lagi lain waktu ya Bu."
Tak lama kemudian balasan pesan darinya datang,
"Kok Ibu merasa kehilangan ya? Dari semua anak murid Ibu, cuma kamu yang Ibu merasa seperti anak Ibu beneran.Jangan lupa temui Ibu lagi kalau ke Bandung ya, bawa cucu-cucuku yang manis."
Aku membalasnya lagi,
"Bu, kalau seorang anak murid yang sudah 15 tahun tidak ketemu lalu menemui Ibu lagi sambil menangis, artinya Ibu berhasil menjadi guru yang baik, yang dicintai murid-muridnya. Jangan berhenti menebar kasih sayang Ibu ya, saya sayang sama Ibu."
Waktu balasan pesan darinya datang dengan pernyataan sayangnya padaku lagi, air mataku tergenang kembali.
Seorang guru yang penuh kasih sayang seperti inilah yang diperlukan murid-murid di seluruh dunia.
Untuk apa seorang guru dengan sengaja menjadikan dirinya "Guru Killer" kalau itu tidak membawa kebaikan apapun untuk muridnya?
Untuk apa seorang guru tertawa sinis ketika murid-muridnya tidak berhasil mendapatkan nilai lebih dari 6 karena soal-soal ujian yang diberikannya sengaja dibuat sulit dengan harapan anak-anak didiknya lebih hormat kepadanya.
Yang dia akan dapatkan hanya bisik-bisik kesal di kantin pada jam istirahat, dan doa-doa buruk dari muridnya.
"Semoga Bapak ini sakit perut jadi gak usah datang hari ini.." atau semacam itu.
Siapakah yang akan mendapatkan cinta, hormat, kasih sayang, dan kagum murid-murid yang tidak pernah habis untuk dikenang?
Yup, hanya guru-guru seperti Ibu Pipih :)
100 untuk Ibu ;)