Tuesday, February 12, 2008

Terry

Seperti apa masa kecil anda?

Masa kecil saya bervariasi. Dari mulai memori manis sampai memori terburuk, saya punya. Piknik bersama dengan Bapak dan Mama, naik mobil pertama Bapak, VW Kodok hitam putih yang akinya menggelincir keluar di jalan menurun, terjun bebas ke sawah waktu naik sepeda dikejar anjing..ah..

Kadang pada saat diam merenung, memori itu seperti flash back dan saya tersenyum-senyum sendiri, kadang menangis kalau yang saya ingat bagian yang sedihnya.

Seperti layaknya anak yang besar di tahun 80'an, saya adalah salah satu korban imajinasi Enid Blyton. Saya ingin sekali berpetualang seperti Lima Sekawan, dan saya tergila-gila dengan Julian. Sayangnya saya adalah tipe penyendiri sejak kecil dan saya tidak punya teman dekat yang mau berpetualang seperti saya. Yang perempuan merasa saya terlalu bandel untuk diajak main bersama, anak lelaki sepertinya entah kenapa selalu merasa terintimidasi oleh saya. Badan saya yang sejak dahulu tinggi besar juga sangat tidak membantu. Anak-anak jahil biasanya mencela saya "Dasar Si Mea, GENDUT!" dan anak-anak yang masih mau bermain dengan saya biasanya kena ledek dan akhirnya merasa uncool bermain dengan saya. Well, beberapa kali saya nyaris melayangkan tinju, tapi saya capek sendiri dan akhinya memutuskan untuk bersolo karier.

Saya tinggal di sebuah kota kecil di pedalaman Sulawesi Selatan. Kota yang cantik, nyaris terisolasi, dan potensial untuk berpetualang. Kota ini dikelilingi pegunungan, banyak gua, dan sekitar 500 m dari rumah saya terbentang danau terdalam di Indonesia, Danau Matano. Itulah surga saya. Setiap hari, pulang sekolah, sebelum berganti baju dan masih membawa tas echolac, saya berenang lengkap dengan seragam merah putih saya. Berenang di antara rakit-rakit milik expatriate yang bekerja di perusahaan tempat Bapak bekerja, maling-maling bermain-main dengan sailing boat di Yacht Club tanpa sepengetahuan penjaganya. Oh yeah I was a big trouble back then. No wonder the normal kids club woudn't do anything with me.

Saya tidak peduli lagi walaupun saya tidak punya teman dekat. Saya puas dengan kesendirian saya dan danau-danau, gunung-gunung, dan gua-gua saya. Naik ke bukit cadas, merangkak di gua bekas sembunyi Kawanan Kahar Muzakar yang penuh tengkorak manusia, menyelam ke bawah dermaga. I had my own private adventure. I didn't need anybody.

Karier solo saya berakhir dengan hadirnya Terry. Mimi di Bandung dulu memiliki beberapa anjing yang entah apa rasnya. Waktu salah satu di antaranya, Miko, melahirkan beberapa anjing kecil, salah satu di antaranya dibawa oleh Uwak Agus, kakak Bapak yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Bapak, ke kota kecil ini. Anak anjing yang dibawa Uwak kecil dan buruk, dinamai Ikus karena mirip Tikus oleh keluarga Bandung. Si buruk rupa yang lucu ini akhirnya diberi nama baru oleh Uwak : Terry.

Sejak Terry berumur 6 bulan dan boleh bermain sendiri, setiap pulang sekolah saya menjemputnya di rumah Uwak dan kami bermain ke pantai. Sebuah bola tenis buruk selalu saya bawa di kantong celana pendek saya dan saya akan melemparnya sejauh mungkin ke danau lalu kemudian Terry akan berenang mengambilnya.

Kadang kami berenang berdampingan di antara perahu-perahu dan berlari-lari di tengah ilalang yang 2 meter tingginya. Suatu hari Terry pernah menyelamatkan saya waktu kaki saya terbenam lumpur di dasar danau. Saya berpegangan pada badannya dan dia menarik saya sambil berenang.

He was my best friend. Never ever once he judge me.

Tapi saya tidak sempat membalas budinya. Waktu saya berumur 13 tahun dan mulai dilirik oleh kakak kelas, saya seperti melupakan Terry. Kehidupan pra remaja sepertinya lebih menarik bagi saya saat itu. Saya mulai takut berpanas ria, mulai sibuk dengan perasaan dan menghabiskan banyak waktu di kamar, menulis puisi di dalam buku harian.

Dan saya melupakan Terry.

Terakhir saya bertemu dengannya, usianya sudah tua. Emosinya sering tidak terkontrol dan banyak tetangga yang takut dengannya. Badan Terry yang tergolong besar untuk anjing piaraan yang tidak dikandangi membuat orang was was untuk mengelusnya.

Saya pun jadi ragu.

Maafkan saya Terry. Maafkan saya yang memilih untuk menyebrang ke dunia remaja lebih cepat. I guess the idea of boys started to notice me, Si Mea Gendut, was too much for me. Too overwhelming. And once I cross that line, there was no turning back.

I said bye bye to adventure, welcome romance.

And I forgot to say byebye to Terry. And thank you.

Too late.