Friday, January 25, 2008

Kapan, Dimana, Bagaimana

Pesan nabi..tentang mati..jangan takut mati karena pasti terjadi..setiap insan pasti mati..hanya soal waktu..

Saya bukan penggemar grup musik Bimbo, walaupun saya suka beberapa lagunya. Dan lagu yang liriknya sebagian saya tulis di atas adalah lagu yang terus menerus cukup sering terngiang-ngiang di telinga sejak saya didiagnosa dengan Diabetes 8 tahun yang lalu dan kesehatan saya sepertinya tidak pernah prima lagi.

Kemarin, lagu ini kembali selalu terngiang waktu mendengar kabar duka, istri dari teman sekerja suami saya, sama-sama orang Indonesia, meninggal dunia di Sumedang. Suaminya kebetulan sedang bersamanya, sedang dalam 2 minggu break dari pekerjaan di China. Sang istri hanya mengeluh sakit perut lalu kemudian berbaring dan tidak pernah bangun kembali. Kematian yang tidak merepotkan, tidak diduga, tidak menakutkan dan tidak menyakitkan. Damai. Without agony.

Saya hanya bisa terpekur, umurnya setahu saja hanya berkisar di awal 40-an saja. Ah...masih muda.. Mau tidak mau pikiran kembali lagi ke diri sendiri dan kembali paranoia saya menyelinap. Saya masih takut mati. Mungkin karena keimanan saya masih terlalu tipis sehingga tidak merasa punya bekal cukup untuk hidup sesudah mati, mungkin karena saya mengkhawatirkan anak-anak saya yang sangat dekat dengan saya, suami saya yang terlalu dependen pada saya sampai makan-pun harus diambilkan, mungkin karena saya tidak ingin menimbulkan kesedihan mendalam untuk orang-orang yang ditinggalkan.

Ketakutan saya kadang saya anggap tidak wajar karena saya hidup dengan rasa khawatir itu dalam hidup saya sehari-hari. Berpikir tentang kematian dan takut pada prosesnya. Tapi mungkin karena saya merasa sudah dikasih 'hint' dengan penyakit ini, sehingga saya jadi mudah cemas seperti hari ini waktu saya memeriksa kadar gula saya. Tidak pada range yang saya inginkan.

Kadang pikiran jauh melayang kepada bagaimana kalau saya harus pergi sementara anak-anak masih kecil dan suami tentunya masih perlu pendamping. Apakah anak-anak akan bisa mengatasi kesedihannya, apakah suami saya akan mendapatkan pendamping yang baru yang benar-benar sayang kepada mereka... sampai pertanyaan yang jauh seperti apakah kalau suami saya menikah lagi lalu foto perkawinan kami di rumah mertua akan diturunkan dan diganti dengan foto pernikahan yang baru. Lalu bagaimana dengan foto keluarga, akankan juga pensiun dari dinding ruang tamu mertua?

Mungkin terdengar berlebihan dan konyol, tapi itulah yang selalu senantiasa ada di dalam benak saya. Suami menikah lagi itu sudah merupakan hal yang pasti. Berapa jumlah duda, cerai atau mati yang ada di permukaan bumi ini? Ok, kurangi lagi dengan jumlah duda cerai/mati yang masih di bawah 50 tahun? That's what I'm talking about...

Tentunya kembali lagi ke kita tidak bisa menebak Kapan, Dimana, Bagaimana kematian itu terjadi dan siapa dulu di antara kita yang pergi, saya sendiri tidak bisa membayangkan kalau saya menjadi pihak yang ditinggal.. Hanya saja buat perempuan sepertinya lebih simple karena perempuan sudah terbiasa menjalani dua fungsi, mencari nafkah dan menjadi ibu, sehingga bisa dibilang jumlah janda cerai atau mati cukup tinggi secara statistik.

Ah..saya mulai membahas melebar ke mana-mana. Kebiasaan buruk yang selalu diingatkan suami saya...

Yang jelas, kepergian istri teman suami saya itu membuat saya teringatkan untuk tidak membuang-buang waktu saya dengan orang-orang tercinta di sekitar saya. Saya usahakan tidak membuat masalah kecil menjadi besar, tidak juga saya lupakan mengucapkan kata sayang kapanpun saya bisa.

Selagi saya masih bisa. Selagi kita masih sempat.