Sunday, April 13, 2008

Setiap Rumah Ada Sejarahnya

Saya adalah manusia yang sangat sentimental. Kadang saya menyimpan suatu barang yang kelihatan sangat tidak berharga tetapi tetap tak ternilai bagi saya karena misalnya barang itu dibeli pada saat Mama datang ke Singapore dan kita belanja bersama-sama ke Orchard Road. Moment itu entah kapan terulang, karena itu saya selalu menyimpan satu barang sebagai pengingat.

Soal rumah, saya juga sangat sentimental dengan rumah. Jangankan rumah sih, kamar hotel saja, kalau saya, suami dan anak-anak sudah merasakan memori yang menyenangkan di sana dalam beberapa hari, pada saat check out saya akan mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal kepada kamar hotel tersebut. Mengatakan apapun yang saya rasa, dalam hati ataupun terucapkan nyaring, penting bagi saya.

Rumah yang paling saya ingat dalam hidup saya adalah rumah Mimi, nenek saya, di Jalan Artileri No 6, Bandung. Mimi mengisinya sejak tahun 1974, 1 tahun setelah saya lahir, dan kemudian pindah ke Jalan Sukarajin pada tahun 2002, sebulan setelah Zachary lahir. Saya sangat kehilangan rumah di Jalan Artileri itu, saya bahkan sudah dekat dengan penghuni-penghuni halusnya. Sayang sekali Mimi harus pindah dari sana karena satu dan lain hal. Terakhir saya melihat rumah tersebut, bentuknya sudah berubah sama sekali. Sepertinya banyak dinding yang dirobohkan dan dibangun kembali. Rasanya kenangan masa kecil saya juga ikut dikubur di sana. Sedih.

Adapun dengan kami, setelah lelah berpindah-pindah, kami ingin sekali mulai saat ini settle di satu tempat. Minimal ada tempat yang bisa kami sebut dengan kata "Rumah" di mana kita bisa "Pulang". Kami beranikan membeli sebuah rumah di Batam, walaupun Batam masih sangat asing untuk kami. Kenapa Batam? Karena Batam dekat dengan Singapore, karena dari Singapore lebih mudah dan lebih fleksibel untuk terbang kemana-mana. Karena, setelah bertahun-tahun ternyata saya tetap tidak bisa merasakan kedekatan hati dengan Jakarta. Pilihannya hanya Bandung atau Batam. Dari segi lokasi strategisnya, jelas kami memilih Batam walaupun tidak ada keterikatan emosional.

Dan akhirnya, rumah kami hampir jadi. Mungkin bulan Juni saat Abang datang untuk field break kami bisa pindah ke sana. Kami akan membuat sejarah kami di rumah itu, mengukir tiap tangis dan tawa di tiap sisi dindingnya. Anak-anak kami akan tumbuh di sana, dan bahkan Abang sudah menyiapkan sedikit ruang untuk dibangun kemudian hari. "Untuk apa?", kata saya. Abang tercengir dan berkata, "Siapa tau nanti Cucu-Cucu perlu kamar."

Hati saya hangat seketika. Doakan memory yang terukir di sana lebih banyak manisnya ya.

Dan mudah-mudahan tercapai, suatu hari kami berdua bisa melihat Cucu-Cucu kami di sana.