Wednesday, April 16, 2008

Not Another Misdiagnosis Please

Hampir 10 tahun yang lalu, saya kehilangan janin di dalam kandungan saya yang berumur hampir 19 minggu karena kelalaian dokter dalam mendiagnosis penyakit saya. Saya kehilangan 5 kali lagi janin saya setelah itu juga karena kelalaian tiap dokter kandungan yang saya datangi yang masih tetap tidak cerdas dalam mencari tahu mengapa kandungan saya tidak bisa bertahan sampai besar. Dokter yang saya datangi memberi jawaban yang berbeda-beda.

Dokter A : "Ibu punya toxoplasma."

Dokter B : "Ibu kandungannya lemah, Bu."

Dokter C : " Ibu kegemukan sih, itu mengganggu kehamilan, Bu."

Dan setelah saya melakukan research sendiri saat saya keguguran ke 6 kali-nya di Singapore, saya datang ke neighbourhood Polyclinic (semacam Puskesmas) dan langsung "menembak" sang Dokter :

"I think I have Diabetes." "I've done some research and all the symptoms match."

Dokter melakukan pemeriksaan Lab, dan mengkonfirmasi, saya memang Diabetik. Hari itu juga saya menangisi semua bayi-bayi saya yang tidak pernah sempat saya peluk karena kelalaian dokter-dokter di Indonesia yang mendiagnosa saya dengan tidak tepat.

Kematian mereka adalah karena Dokter-Dokter itu tidak mau meluangkan waktunya untuk berpikir keras, apa yang menyebabkan keguguran ulang saya. Bagaimana mau berpikir keras, memeriksa pasien saja bisa sekaligus 3 dalam satu ruang periksa. Yang dipikirkan adalah bagaimana caranya break even point modal uang kuliah dulu, bukan lagi keinginan untuk menolong pasien yang diutamakan, tetapi side effectnya yang menyenangkan : UANG.

Hari ini kejadian yang mirip terjadi. Saya datang ke Rumah Sakit dalam keadaan rashes berat. Mata merah bengkak, wajah seperti terbakar, dan sekujur tubuh penuh bintik. Saya mengutarakan kekhawatiran saya bahwa saya alergi terhadap insulin yang baru saja saya pakai selama 2 hari, dan Dokter, tanpa memeriksa langsung, mengiyakannya sambil berkata, "Untuk orang yang mempunyai riwayat alergi, penolakan terhadap insulin memang biasa, Bu."

Saya disuntik steroid dan diminta menghentikan pemakaian insulin. Saya berkata, "Dok, boleh saya minta obat flu juga?" "Saya sudah 10 hari batuk dan meriang, sangat tidak enak badan."

Dokter berkata, "Vitamin C saja Bu, kalau flu."

Setelah saya meminta-minta dengan nada memelas, baru Dokter memberikan antibiotik dan obat batuk-flu.

Lalu sore ini, saya demam tinggi, saya berbaring sambil terus sambil berpikir, "Ada apa ini..kok sampai demam segala." Seluruh badan terasa linu dan sakit. Saya minum 2 Paracetamol sambil terus berpikir, kalau alergi, mengapa perasaannya beda. Mengapa rashesnya kecil-kecil dan bukan biduren seperti biasa? Pertanyaan-pertanyaannya begitu mengganggu pikiran.

Waktu mata saya tertuju pada Zachary, tiba-tiba saya melihat bintik bintik samar di wajahnya. Saya langsung terkesiap. Saya, Fira dan Zachary sudah tidak enak badan, mata merah meradang, batuk, flu, dan radang tenggorokan. Ya ampun..ini bukan alergi!! Saya lari ke laptop dan langsung browse internet untuk tanda-tanda penyakit yang saya duga sedang bercokol di tubuh saya. Membaca dari sebuah artikel di internet, saya langsung 100% yakin dugaan saya benar.

Saya langsung pergi ke klinik langganan di depan komplek, membawa Zachary, dan lansung bertanya kepada Dokter tersebut, " Ibu, saya cuma mau memastikan, apakah kami benar terkena campak?"

Dokter membawa kami ke ruang periksa dan mengkonfirmasi dugaan saya.

Rashes ini ternyata : CAMPAK, sodara-sodara!!!

Another misdiagnosis, another waste of time, and money!