Friday, February 29, 2008

Sebuah Cerita Dari Satu Masa

Pagi ini hangat. Aku menjemur baju yang baru saja kucuci sambil bernyanyi. Bayi perempuanku yang baru berumur 5 bulan terbangun dan menangis kecil memanggilku dari kamar satu-satunya di rumah kami yang bertipe 21. Aku tergopoh-gopoh menaruh kembali cucian ke dalam ember dan berlari ke arah rumah.
Kurengkuh tubuh anakku dan kuangkat ke dadaku. Wajahnya sudah memerah di ambang kebingungannya ketika bangun tidur dan tidak menemukan aku di sampingnya.

Kugendong dan kubaringkan dia di dipan kecil di dapur. Untung pagi ini matahari bersinar terang benderang menghangatkan, kalau tidak aku tidak berani membawanya ke dapur yang hanya berlantai semen dan berdinding bata tanpa diaci ini. Dinginnya bisa membuat gigi gemeletuk.

Sambil membuat susu botolnya, kuajak dia bicara supaya berhenti tangisnya.
"Mau susu kan, Nak...?" "Sebentar lagi ya.."
Bayi perempuan kecilku berhenti menangis dan berbalik menatapku, seperti mengerti dengan apa yang aku ucapkan.
Matanya yang bulat bundar seperti mata Bapaknya membuat aku tersenyum seketika.
Kerutan di keningnya, persis seperti kerutan di kening Bapaknya saat sedang berpikir keras. "Lho, sayang sedang mikir apa, Nak?" "Kok nyureng begitu?", gelakku geli.
Kubawakan botol susunya, dan kerutan di keningnya lenyap berganti senyum manis, pipinya yang merah begitu ranum, kucium dia.

Kuambil selendang pemberian mertuaku, hadiah pada saat aku melahirkan bayi perempuan kecilku itu. Katanya pemberian selendang cantik itu adalah budaya dari daerah asal suamiku. Untuk menyambut kelahiran seorang cucu.
Kugendong bayi perempuan kecilku di dalamnya, kuikat erat ujungnya di pundakku, botol susu aku selipkan di antara bayi perempuan kecilku dan dadaku, dan aku teruskan menjemur baju di depan rumah.

Menyebrang jalan kecil di depan halaman, ember cucianku masih tergeletak begitu saja di bawah kawat jemuran darurat yang dibuat oleh suamiku. Miring, buruk dan doyong ke arah sawah di sebelahnya. Kalau aku bercanda sambil mengejek jemuran buatannya, dia hanya tertawa dan berkata, "Aku kan Insinyur Listrik, bukan tukang kayu."
Aku akan ikut tertawa, menciumnya sambil berkata, "Tapi kan bagus juga kalau jemuran di depan ini terlihat cantik." "Seorang Insinyur Listrik kan seharusnya bisa membuat sesuatu yang sesederhana itu?"
Lalu dia akan mencibirkan bibirnya dan meneruskan menonton bola di TV yang sama yang aku punya sejak kuliah dulu yang akhirnya kami bawa ke sini setelah menikah.

Bayi perempuan kecilku mengeluh kecil, membangunkanku dari lamunan. Botol susunya terlepas dari mulut mungilnya, dan kuselipkan kembali sambil membetulkan posisi gendongan selendang. Kuambil baju basah di dalam ember dan mulai menjemurnya, ketika kusadar ada sesosok tubuh kecil duduk di dekat tiang jemuran.
Aku tersenyum padanya. Namanya Ari, berumur sekitar 10 tahun dan berkulit hitam legam terbakar matahari. Dia adalah satu dari 7 orang anak penjual nasi uduk yang juga tetangga di belakang rumahku.
Kusapa dia, "Sedang apa, Ri?" Dia menekuk kakinya ke dagunya, "Emak lagi marah." "Aku lagi malas sekolah."
Aku lihat tangannya yang kotor bekas bermain di dekat sawah, " Cuci tangan dan kaki dulu di keran air di depan rumah sana, lalu kembali ke sini ya." "Kita bisa ngobrol sambil kamu bantu saya menjemur."
Dia menurut kataku dan setelah mencuci tangan kakinya diambilnya sebuah baju dari ember, dan mulai membantu menggantungkannya di kawat jemuran.

"Kenapa malas sekolah, Ri?"
Dia memancungkan bibirnya, "Malas." "Bu Guru bilang aku bodoh."
Aku menoleh kaget ke arahnya. Aku tidak bisa mentolerir guru yang memberi stempel bodoh kepada muridnya, apalagi secara frontal seperti itu. Aku menghela napas panjang, "Sabar, Ri." "Tidak semua orang dewasa itu bijak."
Dia menatapku, "Cuma Ibu yang bisa saya ajak ngomong begini."

Kami bicara banyak sambil menjemur pakaian dan setelah selesai, kuajak dia masuk rumah. Dia menolak. "Saya main saja di luar, Bu." "Kalau dilihat Emak nanti marah, dibilang gangguin Ibu."
Saya tidak pernah merasa terganggu olehnya. Walau setiap pagi, sebelum sekolah biasanya dia mampir saat aku berjemur dengan bayi perempuan kecilku di teras depan. Dia akan mencubit-cubit pipi bayi perempuan kecilku sambil berkata, "Saya belum pernah melihat bayi secantik kamuuuuu."
Usia kami jauh, tetapi kami seperti teman dekat. Mungkin karena aku selalu suka anak-anak dan karena dia ingin diperhatikan. Ibunya yang berdagang nasi uduk sambil mengasuh 3 orang anaknya yang terkecil yang masih Batita, tentunya tidak sempat bahkan untuk melihat ke arahnya.

Aku berdiri di depan teras, melihat dia melintas pematang sawah di depan rumah kecil tipe 21-ku dan berjalan menanjak bukit kecil ke rel kereta api di atasnya.
Terlintas sesuatu di benakku, "Ari, jangan main di rel kereta!"
Dia menoleh ke arahku, melambai, dan tersenyum.

Setiap hari sejak saat itu, ada saja yang dia ceritakan kepadaku. Tentang sekolahnya, gurunya, kakak-kakaknya, Ibunya, dan kadang malah gosip tentang tetangga. Kadang kami cekikikan berdua. Dia menolak kalau aku memberinya sejumlah uang karena dia tidak ingin apapun dari saya, katanya. Jadi untuk menyiasatinya, aku sering menyuruhnya melakukan tugas-tugas kecil, seperti ke warung membeli bawang, lalu aku akan mengupahinya. Dia berusaha menolak, tapi aku katakan itu adalah upah karena dia bekerja untukku. Setelah beberapa kali menolak, dia akhirnya mau menerimanya.

3 tahun kami tinggal di kompleks perumahan bertipe 21 itu. Tahun-tahun yang penuh tawa dan air mata. Waktu akhirnya suamiku mendapat tawaran bekerja di tempat lain yang jauh lebih baik dari yang ia dapat sekarang, kami meninggalkan perumahan itu, bahkan kota kecil tempat bayi perempuan kecilku lahir pun harus kita ucapkan selamat tinggal.
Aku tak sempat berpamitan. Semuanya serba tiba-tiba dan tergesa-gesa.

Kami pergi selamanya dari bagian hidup kami yang pertama, pengantin baru, orang tua baru, dan menjemput bagian hidup kami yang kedua, di Jakarta.
Jauh dari damai dan kesederhanaan hidup di kota kecil pelintasan, memasuki hiruk pikuk kehidupan Metropolitan.

Sudah bertahun-tahun sejak kami meninggalkan kota kecil pelintasan penuh kenangan. Bayi kecil perempuanku sudah pandai membaca dan aku malah sudah mengandung anak kami yang kedua.
Rumah kami, walaupun masih sama kecil, tetapi sudah lebih pantas keadaannya dan sudah dipenuhi alat-alat elektronik yang dulu tidak pernah terlintas dalam pikiran kami. Dan kami sudah tidak tinggal di negeri yang sama.
Aku menemukan buku telepon kecil yang aku simpan sejak menikah. Buku telepon kecil yang berukir namaku dan suamiku, karena kami menjadikannya sebagai suvenir pernikahan kami. Buku yang selama ini terselip di antara dokumen-dokumen kami yang selalu dibawa perpindah-pindah.

Kutemukan sebuah nama di situ. Nama seorang tetangga di kompleks perumahan tipe 21 itu. Salah seorang dari sedikit tetangga kami yang cukup mapan untuk mempunyai telepon di rumahnya.
Kuangkat telepon dan mulai memanggil nomor yang tertera. Hatiku melompat-lompat, sudah lama aku ingin menanyakan khabar mereka tetapi tidak pernah berhasil menemukan buku kecil ini yang tercecer entah di kotak dokumen yang mana.
Sebuah suara menjawab teleponku.
Hanya beberapa kalimat dia mengenal suaraku dan kami bertangis-tangisan penuh rindu.
Semua cerita yang diingat dia sampaikan padaku.
Kami saling berjanji untuk tetap berkirim khabar kali ini.

Sebelum telepon ditutup, tiba-tiba aku teringat satu hal, tepatnya satu orang yang selalu ada di kehidupanku waktu itu.
"Ir, sebentar.." " Gimana khabar Ari? Anak Bu Sapri?"
"Pasti sudah SMA ya?"

Irma, sahabat dan tetangga baikku dulu itu terdengar terkesiap. Dia tahu betul aku dekat dengan Ari. Lalu lirih dia bertanya, "Lho, belum dengar ya?"
Aku terdiam, berpikir, bertanya-tanya, "Memang ada apa?"
Suara yang terdengar dari sana begitu sayup di telinga, "Ari bermain di rel hari itu, lalu tertabrak Kereta Api Parahyangan." "Meninggal di tempat......"

Masih banyak kata-kata yang sahabat dan tetanggaku ucapkan di dalam telepon saat itu, tapi aku tidak sanggup mendengar apa-apa lagi.

Telepon terjatuh dari tanganku, dan aku terduduk seperti Ari di pagi hangat itu.
Lututku kutarik ke daguku.
Dan aku menangis dan menangis dan menangis sampai habis air mataku.


Dalian, 29 February 2008
Remembering you Ari :(