I Guess There Are Always Two Sides Of Me
Suatu ketika, seorang sahabat yang entah kenapa selalu memposisikan diri sebagai musuh, mati-matian in denial bahwa dia sebenernya sayang betul dengan saya dan nggak berhenti-berhentinya nyentil entah warna lipstik atau cara saya berpakaian, memutuskan untuk membuat suatu post di blognya yang didedikasikan untuk saya.
Isi post itu adalah beberapa foto saya, 2 foto memperlihatkan saya mengenakan rok dan blus, 1 foto memperlihatkan saya mengenakan celana panjang dan t-shirt.
Dia mempertanyakan, yang mana dari foto-foto tersebut yang betul-betul memperlihatkan kepribadian saya. Kalau menurut sahabat-sahabat saya sih, saya memakai rok dan blus itu lebih kepada maksud gaya-gayaan, sok Ibu Pejabat. Apalagi kalau tas yang dibawa adalah tas tangan ala Ibu-Ibu Arisan Jadul yang sebenarnya 2 tahun yang lalu-pun tidak pernah saya lirik.
Saya sih pasrah saja. Dari dulu memang rasanya tidak suka, tidak cocok, dan tidak pantas pakai rok. Tapi ada momen-momennya di mana Ibunda tersayang saya berhasil memaksa saya memakai rok. Terutama untuk sesi foto-foto, di mana Ibu saya maunya terlihat seperti keluarga normal dengan 1 anak perempuan cantik dan 1 anak laki-laki lucu dan ganteng. Sayangnya, saya seringnya malah menyabotase hasil fotonya, sehingga yang didapat adalah 1 keluarga dengan Ibu dan Bapak yang tersenyum manis, dilengkapi anak perempuan yang kelihatan sekali kagok dipakaikan rok, dan kalau lagi apes benar, ditambah dengan 1 anak lelaki kecil yang manyun sepanjang pemotretan.
Dalam 2 foto di atas, jelas sekali kedua foto tersebut memperlihatkan sisi saya yang sangat berbeda. Satu sisi sok manis cantik memakai rok (yang tentunya hasil dipaksa sang Ibunda) dan foto yang satunya memakai kaos dan celana pendek kesayangan yang hampir tiap hari saya pakai pada saat berumur 8-9 tahun.
Sampai sekarang saya memang bisa dihitung berapa kali dalam satu tahun mau pakai rok. Setiap mau pakai rok, malah terngiang-ngiang pertama kali dibelikan rok oleh Bapak pada umur 20 tahun setelah lamaaaa sekali tidak punya rok. Rok yang dibelikan Bapak adalah rok kualitas terbaik dan saya coba memakainya lalu saya berjalan melenggak lenggok di ruang tamu di Bandung. Saat itu juga Mimi lewat sambil lalu ke arah dapur dan berkata,
"Tah kitu atuh make rok." "Pan jadi siga manusia."
<< Home