Let me tell you a story Part 1
Waktu itu aku sedang kesepian. Di rumahku bertipe 21 yang lantai belakangnya hanya disemen, dan halaman belakangnya terbuat dari gedeg alias bilik.
Teman2 sekaligus tetanggaku semua aku tinggalkan di kompleks perumahan sebelah, yang lebih ramai, dan lebih mahal harga kontrakannya.
Aku dan suamiku tak sanggup lagi membayar harga kontrakannya, Rp.900.000/tahun, yang tahun ini naik menjadi Rp. 1.000.000,-
Jadi kami pindah ke sini, ke kompleks perumahan yang lebih muda, kosong, tak punya tetangga, tapi murah. Uang sewanya 1 bulan hanya Rp. 50.000,-
Tetangga terdekatku hanya seorang tukang kerupuk bersama istri dan anaknya yang berumur 2 tahun, yang baru 1 minggu yang lalu tersiram sepanci air mendidih karena bermain terlalu dekat dengan kompor yang diletakan di dekat kamar mandi saking sempitnya rumah tsb.
Tahukah kamu berapa besar, hmm berapa kecil rumah tipe 21 itu?
Sebuah kamar berukuran 3 x 2.5 m, sebuah ruang tamu dengan besar yang tidak jauh dari itu, dan sebuah kamar mandi mungil yang cuma muat 1 orang + 1 ember cuci.
Di sebelah kamar mandi ada pintu ke belakang, ke ruang cuci terbuka yang diisi dengan sebuah pompa tangan. Airnya butek.
Aku, suamiku, dan anak perempuanku yang baru berumur 2 tahun, bahagia di sana.
Suamiku Insinyur, bekerja sebagai Supervisor di sebuah perusahaan gypsum.
Gajinya tidak lebih dari Rp. 1.000.000,-
Sebagai bayangan, susu anakku saja 1 bulan mencapai Rp. 300.000,-
Sisanya pas untuk makan sebulan, kadang kurang.
Suamiku jujur. Padahal pekerjaannya memungkinkan dia untuk mendapatkan suap dari sana sini. Apalagi dia dan tim-nya membangun perusahaan Gypsum itu dari dasar. Kontraktor yang berseliweran dan ujung2nya menawarkan uang asal jualannya di-acc, selalu ada dan menggoda.
Suatu saat dia menerima uang 'hadiah' dari salah satu kontraktor itu.
Bukan suap kata mereka, hanya hadiah karena suamiku sudah bekerjasama dengan baik.
Suami dan rekan kerjanya saling berpandangan.
Aku di rumah perlu uang, anak perempuanku sedang sakit.
Kepalanya penuh bisul, dia alergi dengan susu full cream, tapi karena susu full cream harganya lebih murah dari susu formula, aku terpaksa memberinya susu full cream saja.
Uang itu tak pernah dia bawa pulang.
Dia putuskan untuk memberikan uang itu kepada asistennya, untuk dibagikan rata kepada seluruh anak buahnya, berjumlah 15 orang. Gaji mereka hanya Rp. 300.000,-/bulan.
Mereka lebih memerlukannya.
Hari itu aku terdiam. Aku bahagia. Rumah kontrakanku kecil, airnya butek, dan dinding belakangnya terbuat dari bilik.
Tapi rumah ini damai, anakku cantik, suamiku jujur, dan bunga di halaman depanku yang cuma sepetak itu tumbuh dengan indahnya.
Hari itu aku tak punya uang. 1 minggu sebelumnya uang belanjaku yang tinggal Rp.70.000,- aku pinjamkan kepada tetanggaku yang anaknya baru tersiram air mendidih itu.
Aku ingat saat itu dia berlari ke rumahku sambil menangis,
"Ibu..Ibu...tulungan...anak abdi...anak abdi..."
Aku langsung meninggalkan cucian bajuku dan ikut berlari ke arah rumahnya.
Anak laki2 sebaya anakku sedang terkapar di lantai, lepuh sekujur tubuhnya tersiram sepanci air mendidih.
Aku menjerit dan entah bagaimana, sanggup membawanya ke dalam kamar mandi dan menyiram badan kecilnya yang lepuh dengan air dari dalam bak.
Anak itu shock.
Orang2 yang lewat sudah berkumpul di pintu depan.
Aku berkata pada Ibu si anak, " Bu, ini harus dibawa ke Rumah Sakit."
Ibu anak tersebut hanya menggeleng-geleng sambil menangis, "Abdi teu gaduh artos, gak ada uang, Ibu..."
Aku tertegun, ingat isi dompetku yang juga minim.
"Insya Allah, saya ada!"
Aku berlari ke arah rumah ketua RT, sekitar 200 m dari sana, dengan anak itu di pangkuanku. Ketua RT adalah satu2nya yang keluarga yang punya mobil di sekitar situ.
Ibu RT membuka pintu.
Aku langsung menyambar, "Ibu, anak ini tersiram air panas. Mohon bantuannya untuk mengantar ke Puskesmas."
Ibu RT tampak shock, dari cerita yang aku dengar, dia pernah kehilangan anaknya yang berumur 1 tahun dalam peristiwa tragis. Ketika sedang memandikannya di dalam ember mandi bayi, Ibu RT keluar kamar mandi sebentar untuk mengambil handuk. Entah bagaimana ceritanya ketika ia kembali kurang dari 5 menit kemudian, anaknya sudah tenggelam di dalam ember tersebut. Sudah tak bernapas lagi.
Pemandangan seorang anak kecil melepuh di depannya tentunya sangat memilukan hatinya dan membuka luka lamanya.
Mobil Ketua RT yang butut itu melaju ke arah Puskesmas.
Anak Pak RT yang menyetir. Ibu si anak di sebelahku menangis tak henti2.
Sampai di Puskesmas langsung ditolong oleh dokter.
Untungnya tidak separah bayangan kami. Anak itu boleh pulang, tapi harus dirawat baik2.
Biaya pengobatan Rp. 60.000,-
Sekarang, 1 minggu kemudian, aku duduk di sofa bututku yang kubeli dengan harga Rp.30.000,-/1 set dari tetangga yang butuh uang karena anaknya masuk rumah sakit karena tipes.
Aku menatap keluar.
Suamiku sebentar lagi pulang kerja.
Anak perempuan cantikku sudah mandi, memakai pita dan baju merah hadiah dari neneknya.
Dari mana aku bisa punya uang untuk besok membuat Bubur Ayam kesukaannya?
Hari ini, uang Rp.500,- yang terakhir sudah aku pakai untuk membeli sayur bayam dan ikan asin.
Suamiku datang. Ketukan di pintu tak seperti biasanya keras, seperti tak sabar.
Kubuka pintu itu secepatnya, dan kutatap wajah yang sangat aku cintai tersebut.
Ada sesuatu yang lain di matanya.
"Sayang, ingat waktu aku ngelamar ke perusahaan Singapore yang punya cabang di Jakarta?" "Hari ini datang email, lewat Bambang." "Aku diterima!"
Aku memeluknya erat. Sudah lama ia ingin keluar dari Cikampek. Ingin memperbaiki kehidupan kami. Dan sepertinya jalan yang dicarinya sudah terbuka.
Anak perempuanku menarik2 celana pendekku sambil bergelayutan di kakiku.
Aku tatap mata suamiku, "Jadi, kita pindah? Ke Jakarta?"
Suamiku nyengir, "Iya, ke Jakarta."
Aku berpikir keras, dari mana kami dapatkan biaya untuk pindah?
Buat makan besok saja tidak ada.
Suamiku menjawil tanganku.
"Ada satu masalah, Sayang.. email itu menyebutkan aku harus ke Singapore tanggal 19 nanti untuk lapor hari pertama kerja sekaligus briefing. "
Mulutku ternganga.
Singapore????????
Dari mana uangnya????????????
Teman2 sekaligus tetanggaku semua aku tinggalkan di kompleks perumahan sebelah, yang lebih ramai, dan lebih mahal harga kontrakannya.
Aku dan suamiku tak sanggup lagi membayar harga kontrakannya, Rp.900.000/tahun, yang tahun ini naik menjadi Rp. 1.000.000,-
Jadi kami pindah ke sini, ke kompleks perumahan yang lebih muda, kosong, tak punya tetangga, tapi murah. Uang sewanya 1 bulan hanya Rp. 50.000,-
Tetangga terdekatku hanya seorang tukang kerupuk bersama istri dan anaknya yang berumur 2 tahun, yang baru 1 minggu yang lalu tersiram sepanci air mendidih karena bermain terlalu dekat dengan kompor yang diletakan di dekat kamar mandi saking sempitnya rumah tsb.
Tahukah kamu berapa besar, hmm berapa kecil rumah tipe 21 itu?
Sebuah kamar berukuran 3 x 2.5 m, sebuah ruang tamu dengan besar yang tidak jauh dari itu, dan sebuah kamar mandi mungil yang cuma muat 1 orang + 1 ember cuci.
Di sebelah kamar mandi ada pintu ke belakang, ke ruang cuci terbuka yang diisi dengan sebuah pompa tangan. Airnya butek.
Aku, suamiku, dan anak perempuanku yang baru berumur 2 tahun, bahagia di sana.
Suamiku Insinyur, bekerja sebagai Supervisor di sebuah perusahaan gypsum.
Gajinya tidak lebih dari Rp. 1.000.000,-
Sebagai bayangan, susu anakku saja 1 bulan mencapai Rp. 300.000,-
Sisanya pas untuk makan sebulan, kadang kurang.
Suamiku jujur. Padahal pekerjaannya memungkinkan dia untuk mendapatkan suap dari sana sini. Apalagi dia dan tim-nya membangun perusahaan Gypsum itu dari dasar. Kontraktor yang berseliweran dan ujung2nya menawarkan uang asal jualannya di-acc, selalu ada dan menggoda.
Suatu saat dia menerima uang 'hadiah' dari salah satu kontraktor itu.
Bukan suap kata mereka, hanya hadiah karena suamiku sudah bekerjasama dengan baik.
Suami dan rekan kerjanya saling berpandangan.
Aku di rumah perlu uang, anak perempuanku sedang sakit.
Kepalanya penuh bisul, dia alergi dengan susu full cream, tapi karena susu full cream harganya lebih murah dari susu formula, aku terpaksa memberinya susu full cream saja.
Uang itu tak pernah dia bawa pulang.
Dia putuskan untuk memberikan uang itu kepada asistennya, untuk dibagikan rata kepada seluruh anak buahnya, berjumlah 15 orang. Gaji mereka hanya Rp. 300.000,-/bulan.
Mereka lebih memerlukannya.
Hari itu aku terdiam. Aku bahagia. Rumah kontrakanku kecil, airnya butek, dan dinding belakangnya terbuat dari bilik.
Tapi rumah ini damai, anakku cantik, suamiku jujur, dan bunga di halaman depanku yang cuma sepetak itu tumbuh dengan indahnya.
Hari itu aku tak punya uang. 1 minggu sebelumnya uang belanjaku yang tinggal Rp.70.000,- aku pinjamkan kepada tetanggaku yang anaknya baru tersiram air mendidih itu.
Aku ingat saat itu dia berlari ke rumahku sambil menangis,
"Ibu..Ibu...tulungan...anak abdi...anak abdi..."
Aku langsung meninggalkan cucian bajuku dan ikut berlari ke arah rumahnya.
Anak laki2 sebaya anakku sedang terkapar di lantai, lepuh sekujur tubuhnya tersiram sepanci air mendidih.
Aku menjerit dan entah bagaimana, sanggup membawanya ke dalam kamar mandi dan menyiram badan kecilnya yang lepuh dengan air dari dalam bak.
Anak itu shock.
Orang2 yang lewat sudah berkumpul di pintu depan.
Aku berkata pada Ibu si anak, " Bu, ini harus dibawa ke Rumah Sakit."
Ibu anak tersebut hanya menggeleng-geleng sambil menangis, "Abdi teu gaduh artos, gak ada uang, Ibu..."
Aku tertegun, ingat isi dompetku yang juga minim.
"Insya Allah, saya ada!"
Aku berlari ke arah rumah ketua RT, sekitar 200 m dari sana, dengan anak itu di pangkuanku. Ketua RT adalah satu2nya yang keluarga yang punya mobil di sekitar situ.
Ibu RT membuka pintu.
Aku langsung menyambar, "Ibu, anak ini tersiram air panas. Mohon bantuannya untuk mengantar ke Puskesmas."
Ibu RT tampak shock, dari cerita yang aku dengar, dia pernah kehilangan anaknya yang berumur 1 tahun dalam peristiwa tragis. Ketika sedang memandikannya di dalam ember mandi bayi, Ibu RT keluar kamar mandi sebentar untuk mengambil handuk. Entah bagaimana ceritanya ketika ia kembali kurang dari 5 menit kemudian, anaknya sudah tenggelam di dalam ember tersebut. Sudah tak bernapas lagi.
Pemandangan seorang anak kecil melepuh di depannya tentunya sangat memilukan hatinya dan membuka luka lamanya.
Mobil Ketua RT yang butut itu melaju ke arah Puskesmas.
Anak Pak RT yang menyetir. Ibu si anak di sebelahku menangis tak henti2.
Sampai di Puskesmas langsung ditolong oleh dokter.
Untungnya tidak separah bayangan kami. Anak itu boleh pulang, tapi harus dirawat baik2.
Biaya pengobatan Rp. 60.000,-
Sekarang, 1 minggu kemudian, aku duduk di sofa bututku yang kubeli dengan harga Rp.30.000,-/1 set dari tetangga yang butuh uang karena anaknya masuk rumah sakit karena tipes.
Aku menatap keluar.
Suamiku sebentar lagi pulang kerja.
Anak perempuan cantikku sudah mandi, memakai pita dan baju merah hadiah dari neneknya.
Dari mana aku bisa punya uang untuk besok membuat Bubur Ayam kesukaannya?
Hari ini, uang Rp.500,- yang terakhir sudah aku pakai untuk membeli sayur bayam dan ikan asin.
Suamiku datang. Ketukan di pintu tak seperti biasanya keras, seperti tak sabar.
Kubuka pintu itu secepatnya, dan kutatap wajah yang sangat aku cintai tersebut.
Ada sesuatu yang lain di matanya.
"Sayang, ingat waktu aku ngelamar ke perusahaan Singapore yang punya cabang di Jakarta?" "Hari ini datang email, lewat Bambang." "Aku diterima!"
Aku memeluknya erat. Sudah lama ia ingin keluar dari Cikampek. Ingin memperbaiki kehidupan kami. Dan sepertinya jalan yang dicarinya sudah terbuka.
Anak perempuanku menarik2 celana pendekku sambil bergelayutan di kakiku.
Aku tatap mata suamiku, "Jadi, kita pindah? Ke Jakarta?"
Suamiku nyengir, "Iya, ke Jakarta."
Aku berpikir keras, dari mana kami dapatkan biaya untuk pindah?
Buat makan besok saja tidak ada.
Suamiku menjawil tanganku.
"Ada satu masalah, Sayang.. email itu menyebutkan aku harus ke Singapore tanggal 19 nanti untuk lapor hari pertama kerja sekaligus briefing. "
Mulutku ternganga.
Singapore????????
Dari mana uangnya????????????
17 Comments:
mak, mak, yang nomor dua mak :D
salut ama kemandirian dan kejujuran yg susah didapat di indonesia. Syukurlah dapet kesempatan ke singapur di mana korupsi engga ada sehingga kita terjaga dari terlibat hal-hal demikian... moga2 kita semua selalu bersyukur dengan apa yg dikaruniai...
Teteh nggak sabar nih pengen Part 2 nyah
ga sabar menanti part 2nya...
ceritanya menarik..mengajarkan kejujuran dan budi pekerti..
Ps:
Mel...aku diet makan buah sampe eneg..hoekk!! hehehe
Fiuh. Berkali-kali denger ceritanya langsung, tapi ada aja kenyataan yg baru tampil. :D
semua yang baik,
semua yang manis,
semua yang tulus....
pasti ada buahnya.
yang juga baik, manis dan tulus.
ikut ga sabar nunggu part 2, part 3, part 4 dan seterusnya.
ayo jangan bikin penasaran..:)
Alo Meel, tuh kan dikau emang paling bisa deh nulis, ditunggu kelanjutannya.
Btw, beneran tuh si ayah bawa lunch box, gara2 ngbakso di kantor dan perutnya menolak ...hehe
Mel, sampai terpana nih baca ceritanya, wow! beneran sejarah hidupmu kah? salut!.....ditunggu kelanjutannya yaa
ayo dong teteh
kaya cerber aja nih
ga sabar baca kelanjutannya
Mel,boleh ku fwd ke Wisata Hati,ndak..??
mela iiiiiih
unggal poe bolak balik ka dieu.. mana nomer duanaaaaa?
bagus bener ceritanya :)
wakakaka sorry semuanya..
lagi sibuk ngepak nih :D
Insya Allah secepatnya saya update, tapi kemungkinan baru bisa hari Senin hihihi
Mohon mangaaaap
love and hug,
Mel
waaaa...mana part II nyaa?!!
kirim k majalah femina dong teh..pasti dimuat..
Mela aku sampe terharu membacanya..tolong dong dilanjutkan part2 nya dengan segera...
Masya Allah boo... cerita lo... *speechless*
Teh...aku padamu...
Post a Comment
<< Home