Friday, February 29, 2008

Sebuah Cerita Dari Satu Masa

Pagi ini hangat. Aku menjemur baju yang baru saja kucuci sambil bernyanyi. Bayi perempuanku yang baru berumur 5 bulan terbangun dan menangis kecil memanggilku dari kamar satu-satunya di rumah kami yang bertipe 21. Aku tergopoh-gopoh menaruh kembali cucian ke dalam ember dan berlari ke arah rumah.
Kurengkuh tubuh anakku dan kuangkat ke dadaku. Wajahnya sudah memerah di ambang kebingungannya ketika bangun tidur dan tidak menemukan aku di sampingnya.

Kugendong dan kubaringkan dia di dipan kecil di dapur. Untung pagi ini matahari bersinar terang benderang menghangatkan, kalau tidak aku tidak berani membawanya ke dapur yang hanya berlantai semen dan berdinding bata tanpa diaci ini. Dinginnya bisa membuat gigi gemeletuk.

Sambil membuat susu botolnya, kuajak dia bicara supaya berhenti tangisnya.
"Mau susu kan, Nak...?" "Sebentar lagi ya.."
Bayi perempuan kecilku berhenti menangis dan berbalik menatapku, seperti mengerti dengan apa yang aku ucapkan.
Matanya yang bulat bundar seperti mata Bapaknya membuat aku tersenyum seketika.
Kerutan di keningnya, persis seperti kerutan di kening Bapaknya saat sedang berpikir keras. "Lho, sayang sedang mikir apa, Nak?" "Kok nyureng begitu?", gelakku geli.
Kubawakan botol susunya, dan kerutan di keningnya lenyap berganti senyum manis, pipinya yang merah begitu ranum, kucium dia.

Kuambil selendang pemberian mertuaku, hadiah pada saat aku melahirkan bayi perempuan kecilku itu. Katanya pemberian selendang cantik itu adalah budaya dari daerah asal suamiku. Untuk menyambut kelahiran seorang cucu.
Kugendong bayi perempuan kecilku di dalamnya, kuikat erat ujungnya di pundakku, botol susu aku selipkan di antara bayi perempuan kecilku dan dadaku, dan aku teruskan menjemur baju di depan rumah.

Menyebrang jalan kecil di depan halaman, ember cucianku masih tergeletak begitu saja di bawah kawat jemuran darurat yang dibuat oleh suamiku. Miring, buruk dan doyong ke arah sawah di sebelahnya. Kalau aku bercanda sambil mengejek jemuran buatannya, dia hanya tertawa dan berkata, "Aku kan Insinyur Listrik, bukan tukang kayu."
Aku akan ikut tertawa, menciumnya sambil berkata, "Tapi kan bagus juga kalau jemuran di depan ini terlihat cantik." "Seorang Insinyur Listrik kan seharusnya bisa membuat sesuatu yang sesederhana itu?"
Lalu dia akan mencibirkan bibirnya dan meneruskan menonton bola di TV yang sama yang aku punya sejak kuliah dulu yang akhirnya kami bawa ke sini setelah menikah.

Bayi perempuan kecilku mengeluh kecil, membangunkanku dari lamunan. Botol susunya terlepas dari mulut mungilnya, dan kuselipkan kembali sambil membetulkan posisi gendongan selendang. Kuambil baju basah di dalam ember dan mulai menjemurnya, ketika kusadar ada sesosok tubuh kecil duduk di dekat tiang jemuran.
Aku tersenyum padanya. Namanya Ari, berumur sekitar 10 tahun dan berkulit hitam legam terbakar matahari. Dia adalah satu dari 7 orang anak penjual nasi uduk yang juga tetangga di belakang rumahku.
Kusapa dia, "Sedang apa, Ri?" Dia menekuk kakinya ke dagunya, "Emak lagi marah." "Aku lagi malas sekolah."
Aku lihat tangannya yang kotor bekas bermain di dekat sawah, " Cuci tangan dan kaki dulu di keran air di depan rumah sana, lalu kembali ke sini ya." "Kita bisa ngobrol sambil kamu bantu saya menjemur."
Dia menurut kataku dan setelah mencuci tangan kakinya diambilnya sebuah baju dari ember, dan mulai membantu menggantungkannya di kawat jemuran.

"Kenapa malas sekolah, Ri?"
Dia memancungkan bibirnya, "Malas." "Bu Guru bilang aku bodoh."
Aku menoleh kaget ke arahnya. Aku tidak bisa mentolerir guru yang memberi stempel bodoh kepada muridnya, apalagi secara frontal seperti itu. Aku menghela napas panjang, "Sabar, Ri." "Tidak semua orang dewasa itu bijak."
Dia menatapku, "Cuma Ibu yang bisa saya ajak ngomong begini."

Kami bicara banyak sambil menjemur pakaian dan setelah selesai, kuajak dia masuk rumah. Dia menolak. "Saya main saja di luar, Bu." "Kalau dilihat Emak nanti marah, dibilang gangguin Ibu."
Saya tidak pernah merasa terganggu olehnya. Walau setiap pagi, sebelum sekolah biasanya dia mampir saat aku berjemur dengan bayi perempuan kecilku di teras depan. Dia akan mencubit-cubit pipi bayi perempuan kecilku sambil berkata, "Saya belum pernah melihat bayi secantik kamuuuuu."
Usia kami jauh, tetapi kami seperti teman dekat. Mungkin karena aku selalu suka anak-anak dan karena dia ingin diperhatikan. Ibunya yang berdagang nasi uduk sambil mengasuh 3 orang anaknya yang terkecil yang masih Batita, tentunya tidak sempat bahkan untuk melihat ke arahnya.

Aku berdiri di depan teras, melihat dia melintas pematang sawah di depan rumah kecil tipe 21-ku dan berjalan menanjak bukit kecil ke rel kereta api di atasnya.
Terlintas sesuatu di benakku, "Ari, jangan main di rel kereta!"
Dia menoleh ke arahku, melambai, dan tersenyum.

Setiap hari sejak saat itu, ada saja yang dia ceritakan kepadaku. Tentang sekolahnya, gurunya, kakak-kakaknya, Ibunya, dan kadang malah gosip tentang tetangga. Kadang kami cekikikan berdua. Dia menolak kalau aku memberinya sejumlah uang karena dia tidak ingin apapun dari saya, katanya. Jadi untuk menyiasatinya, aku sering menyuruhnya melakukan tugas-tugas kecil, seperti ke warung membeli bawang, lalu aku akan mengupahinya. Dia berusaha menolak, tapi aku katakan itu adalah upah karena dia bekerja untukku. Setelah beberapa kali menolak, dia akhirnya mau menerimanya.

3 tahun kami tinggal di kompleks perumahan bertipe 21 itu. Tahun-tahun yang penuh tawa dan air mata. Waktu akhirnya suamiku mendapat tawaran bekerja di tempat lain yang jauh lebih baik dari yang ia dapat sekarang, kami meninggalkan perumahan itu, bahkan kota kecil tempat bayi perempuan kecilku lahir pun harus kita ucapkan selamat tinggal.
Aku tak sempat berpamitan. Semuanya serba tiba-tiba dan tergesa-gesa.

Kami pergi selamanya dari bagian hidup kami yang pertama, pengantin baru, orang tua baru, dan menjemput bagian hidup kami yang kedua, di Jakarta.
Jauh dari damai dan kesederhanaan hidup di kota kecil pelintasan, memasuki hiruk pikuk kehidupan Metropolitan.

Sudah bertahun-tahun sejak kami meninggalkan kota kecil pelintasan penuh kenangan. Bayi kecil perempuanku sudah pandai membaca dan aku malah sudah mengandung anak kami yang kedua.
Rumah kami, walaupun masih sama kecil, tetapi sudah lebih pantas keadaannya dan sudah dipenuhi alat-alat elektronik yang dulu tidak pernah terlintas dalam pikiran kami. Dan kami sudah tidak tinggal di negeri yang sama.
Aku menemukan buku telepon kecil yang aku simpan sejak menikah. Buku telepon kecil yang berukir namaku dan suamiku, karena kami menjadikannya sebagai suvenir pernikahan kami. Buku yang selama ini terselip di antara dokumen-dokumen kami yang selalu dibawa perpindah-pindah.

Kutemukan sebuah nama di situ. Nama seorang tetangga di kompleks perumahan tipe 21 itu. Salah seorang dari sedikit tetangga kami yang cukup mapan untuk mempunyai telepon di rumahnya.
Kuangkat telepon dan mulai memanggil nomor yang tertera. Hatiku melompat-lompat, sudah lama aku ingin menanyakan khabar mereka tetapi tidak pernah berhasil menemukan buku kecil ini yang tercecer entah di kotak dokumen yang mana.
Sebuah suara menjawab teleponku.
Hanya beberapa kalimat dia mengenal suaraku dan kami bertangis-tangisan penuh rindu.
Semua cerita yang diingat dia sampaikan padaku.
Kami saling berjanji untuk tetap berkirim khabar kali ini.

Sebelum telepon ditutup, tiba-tiba aku teringat satu hal, tepatnya satu orang yang selalu ada di kehidupanku waktu itu.
"Ir, sebentar.." " Gimana khabar Ari? Anak Bu Sapri?"
"Pasti sudah SMA ya?"

Irma, sahabat dan tetangga baikku dulu itu terdengar terkesiap. Dia tahu betul aku dekat dengan Ari. Lalu lirih dia bertanya, "Lho, belum dengar ya?"
Aku terdiam, berpikir, bertanya-tanya, "Memang ada apa?"
Suara yang terdengar dari sana begitu sayup di telinga, "Ari bermain di rel hari itu, lalu tertabrak Kereta Api Parahyangan." "Meninggal di tempat......"

Masih banyak kata-kata yang sahabat dan tetanggaku ucapkan di dalam telepon saat itu, tapi aku tidak sanggup mendengar apa-apa lagi.

Telepon terjatuh dari tanganku, dan aku terduduk seperti Ari di pagi hangat itu.
Lututku kutarik ke daguku.
Dan aku menangis dan menangis dan menangis sampai habis air mataku.


Dalian, 29 February 2008
Remembering you Ari :(




Wednesday, February 27, 2008

Moderator Oseng Tempe

Saya kemaren bikin blunder. Nutup thread tapi kurang research. Rupanya karena TS-nya salah mengeja nama, jadinya saya pikir dia membuat thread untuk seseorang yang bukan member di forum tersebut. Ya sudah saya tutup, lha saya cari nama membernya tidak ada di daftar anggota.

Rupanya nama Member yang dimaksud di dalam thread tersebut cukup dikenal. Malah sayanya yang kurang gaul, jadinya tidak kenal nama tersebut saat disalah-eja-kan (nah lo)

Terlepas dari salah benarnya itu thread harus dihapus atau tidak, tiba-tiba saya dikirim pesan oleh Wiwin lewat Y!M. Dia senang sekali karena ternyata saya sudah membuat paginya penuh senyuman karena saya bikin blunder.

Terakhir dia bilang, "Makanya gaul!" lalu disambung, "Udah sana tuh oseng tempenya gosong."

Saya cuma bisa "seuri maur" alias grinning with a lost stare

Beginilah kalau Ibu Rumah Tangga disuruh jadi Moderator Forum yang lumayan sibuk.

Gak papa lah. Kan gak lucu kalau anak-anak saya jadi kelaperan gara2 melototin forum terus.

Sibuk di dapur, sibuk di internet. Hmm..gila...I feel like a HOT MAMA

So current.so uptodate, so trendy... so MEL!

*jumawa 2 detik sebelum diteriakin si Adek, "Mak, Adek mau susu, SEKARANG!"*

Saturday, February 23, 2008

There's Gotta Be More To Life

There are the days when all I want to do is screaming at the top of my lung.
Just to shake off the suffocating feeling.

Need...some..fresh..air...

Friday, February 22, 2008

Still Got Naan

Penasaran seperti apa suasana sekitar si Beautiful kemaren? Inilah kios Naan tempat dia bekerja, dan kotak kecil seperti jendela di tengah itu adalah tempat wajahnya muncul dan tersenyum.

Dunia indah kalau inget yang indah-indah.

Thursday, February 21, 2008

Got Naan?

Wandering aimlessly around Dalian, I found this Naan (Xinjiang bread) stall and felt a sudden hunger pang. I bought 5 Naans.

I guess this boy behind the stall was eavesdropping me and the Naan seller speaking in gibberish mixed with English and broken Chinese and decided to take a peek to look at the person talking so funnily.

He poked his head from a small window used for handing the Naan dough from inside to the stove outside. And I was stunned.

And I said something I never said before, "Subhanallah, you are so beautiful!"

Sunday, February 17, 2008

My Archenemy, My Nemesis

Satu minggu lagi kita berkumpul sebelum menghadapi lagi 2 bulan break. Berpisah lagi sementara.

Tidak ada hari di mana kami tidak berteriak kepada satu sama lain, tapi hidupku tidak lengkap tanpa dia. Seperti tanpa jiwa.

Kemarin pagi sebelum berangkat kerja kupeluk erat dia sambil menggombal. Dia berpura-pura sebal, melihat jam dan berkata, "Ok, I'm almost late." "I have 2 minutes for this bullshits."

Aku menatap ke matanya dan tersenyum, "Baby, you will MISS this bullshits."

Dan sinar cinta di matanya kala kukatakan itu menghangatkan pagi beku.

Gosh, I'll miss him so much.

My Archenemy, My Nemesis, My Endless Love.

Mang Kuke Datang !!

Tadi malam anak-anak excited menunggu Mang Kuke tersayangnya datang dari Jakarta.

Mang Kuke akan tinggal di Dalian, bekerja di kantor yang sama dengan Ebak, dan sementara akan tinggal bersama kita.

Setelah menunggu setengah jam sejak pesawatnya landing, akhirnya Mang Kuke keluar dari gate dan anak-anak langsung menghambur memeluknya.

Sayang sekali kita sebentar saja berkumpul karena harus pulang sebentar ke Batam untuk persiapan Kakak ikut UAN bulan Mei nanti.

Mudah-mudahan setelah training, Mang Kuke akan ditempatkan di Singapore jadi kita bisa lebih sering ketemu.

Singapore kan tinggal nyebrang. 45 minutes and $20 away

Saturday, February 16, 2008

RTFM For G9

Ceritanya January kemaren dikasih hadiah Canon Poweshot G9 sebagai ganti Powershot A80 yang rusak karena OD motret Sunset. Tapi karena pakenya gaptek dan malas baca manual booknya, hasilnya masih belum prima.

Kemaren waktu CNY, bermaksud mengambil foto Fireworks, kamera saya set ke Manual. Tapi saya tidak tahu cara mengganti bukaan diafragma-nya. Ceplak cepluk pencat pencet, saya berteriak panik pada Abang karena takut kehilangan momen.

Saya : Bang!!! Tunggu!! Gak bisa ganti f-stopnya nih!!!

Abang : Lho, emang kemaren-kemaren pake mode apa?

Saya : P. For Professional!

Abang : HAHAHA!

Saya : Hoy!! Bantuin dong!!

Abang : Read The F%^&*& Manual!!!

Argghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

Read Me

Saya tidak pernah khatam Qur'an, dan waktu kecil saya ngakunya pergi ngaji padahal saya main bola di kolong rumah orang (rumah masa kecil saya dan tetangga-tetangga saya berbentuk rumah panggung yang katanya diimpor dari Australia).

Jadi waktu suatu saat saya berburu daging Halal di China, saya cuma mengandalkan pelang atau papan bertuliskan huruf arab, yang kemudian saya simpulkan bahwa penjualnya Muslim dan menjual daging halal.

Hanya saja sebenarnya saya cuma menebak-nebak apa sebenarnya tulisan di papan itu.

Ada yang bisa bacakan untuk saya?

Friday, February 15, 2008

Ketitipan Salam

Saya ketitipan salam dari penjual buah kering ini. Namanya Rahmat (berdiri di kanan) dari suku Uyghur asli propinsi Xinjiang yang hampir rata-rata beragama Islam. Waktu itu saya sedang hunting foto bersama Abang di Stasiun Dalian. Dia kira-kira bertanya kita berasal dari mana, saya jawab dari Indonesia. Dia bertanya apakah kita Muslim, dan kita jawab YA.

Dalam bahasa campur dan isyarat yang saya mengerti cuma kata "Indonesia", "Muslim", dan "Kamera", saya akhirnya menyimpulkan bahwa dia ingin difoto dan minta kami memperlihatkan fotonya ke saudara dan kawan-kawan di Indonesia. Sepertinya dia ingin kita tau seperti apa wajah saudara seiman di belahan dunia lain.

Waktu kami beranjak pergi dari sana dan melambaikan tangan, dia berteriak gembira, "Assalamualaykum!!"

Sekarang saya sampaikan salamnya. Lunas hutang saya

Muslin Eat Halam

Susah ngomong sama orang China. Mereka seperti punya dunia lain. Menyebut suatu barang atau kata ya tidak mengikuti dunia internasional. Mereka memiliki sebutan tersendiri untuk apapun. Seperti kalau kita menyebut tisu, mereka tidak akan mengerti sama sekali karena mereka tidak pernah menyebutnya dengan Tisu. Toilet, yang kalau di Indonesia hampir rata-rata mengerti artinya, di sini menjadi kata yang tidak pernah mereka dengar.

Yang membuat saya tersenyum adalah kejadian di Kios Daging yang ada tulisan arabnya ini :

Saya : Hello. Is this halal meat?

Tukang Daging Cantik : &^%$^*#

Saya : Halal meat? * masih maksa, dasar cina palsu*

Tukang Daging Cantik : %$#@*&

Saya : *nunjuk dia* Muslim?? *ganti taktik*

Tukang Daging Cantik : Dui..Dui .. Muslin *ngangguk-ngangguk*

Saya : *nunjuk daging* Halal???

Tukang Daging Cantik : Dui Dui .... Halam..dui...*ngangguk kenceng*

Saya : Haiyyah, Mbakyu....kok HALAM sih

Tukang Daging Cantik cengar cengir makin gak ngerti.

Wednesday, February 13, 2008

Saint Karmela

Last night we went to Olive Garden for a get together cum Company Dinner. An informal dinner Abang's company always have every now and then.

The ladies ordered Salad and Clear Soups, I asked for Mushroom Cream Soup and Chicken Steak, and I even stole some fries from Abang's plate and some more from Steve's plate.

Steve work with Abang. He's around 60-ish, silvery haired, big and cuddly, handsome and I totally adore him. He's been married for 25 years to a Malaysian lady, but mostly she stay in Manchester, not with her husband in China.

The ladies shared tips about how to stay away from carbohidrates and calories. Grinning from ear to ear, Steve said, "Only salad?" "Good girls."

I looked at my plates. Realizing that I wasn't feeling quite full yet, and sheepishly asked Steve who sat in front of me, "Do you think I'm a bad girl if I order a Chocolate Mousse for dessert?"

Steve throw his hand in the air and exclaimed, "A bad girl??" "No, Dear... I'd think you're a SAINT!!"

And my self esteem was skyrocketing

Love you Steve!

Krisis Bahasa

Karena anak-anak saya selama di China menggunakan sistem Home School, maka saya sehari-harinya harus berurusan dengan memanjangkan leher dan menaikkan suara saya waktu (mencoba) mengajarkan mereka.

Sampai saat ini yang paling membuat frustasi adalah mengajar Bahasa Indonesia kepada Shafira. Karena dia baru satu tahun terpapar dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka karangan Bahasa Indonesia yang dibuatnya selalu penuh dengan istilah slang Betawi yang sehari-hari kami pakai di rumah.

Bisa dilihat dalam kedua foto di atas, karangan dalam Bahasa Inggris tidak ada yang salah, dan karangan dalam Bahasa Indonesia judulnya saja sudah kacau.

He Ain't Heavy, He's My Brother

Saya sering sedih kalau mendengar atau melihat Kakak Adik seperti saling tidak suka, bersaing habis, atau malah terlibat dengan perselisihan kecil besar bahkan super besar seperti masalah warisan.

Sampai saat ini saya mengingat, hanya 1 kali saya bertengkar cukup besar dengan Adik saya. Itupun berakhir dengan saya dan dia berpelukan sambil menangis. Waktu itu saya sudah kuliah dan Kuke masih SMP.

Kami sejak Kuke berumur 6 tahun dan saya sendiri 13 tahun, hampir selalu hidup terpisah. Kuke dengan Bapak dan Mama di Jakarta, saya di Bandung ikut Mimi. Saya memang tidak mau tinggal di Jakarta setelah kami pindah dari Kota Kecil Di Pedalaman Sulawesi Selatan itu. Buat saya Bandung jauh lebih simple dan lebih familiar.

Karena hidup terpisah itu juga, saya tidak terlalu 'mengenal' dia. Apa masakan yang dia suka, film apa yang dia suka tonton, musik apa yang dia suka. Saya justru banyak tau tentang dia, teman-temannya dan kehidupannya setelah ada Friendster. Aneh ya.

Tapi walau jarang bertemu, perasaan kami tetap dekat. Kami tetap saling ber-sms dan kadang dia atau saya menelepon berjam-jam. Setiap keputusan besar Kuke selalu berkonsultasi dengan saya. Kami selalu berjauhan, tetapi tidak pernah jauh di hati.

Hari ini saya senang sekali karena dia akan bergabung dengan saya di China. Kuke melamar ke perusahaan di mana Abang bekerja dan diterima. Kami hanya bersama sementara karena akhir February saya harus kembali ke Indonesia untuk mempersiapkan UAN Fira bulan Mei nanti, tapi setiap menit saya bertemu dengan Kuke, buat saya selalu sangat berharga.

I love him since the first time I've set my eyes on him in front of the delivery room that cold day in Bogor on year 1980. And I love him forever.

Tuesday, February 12, 2008

Mimpi Sebelum Tidur

Malam, jam 9, saya antar Zachary tidur ke kamarnya. Belum sebulan dia disapih, tidur terpisah dari Kakaknya yang tahun ini berumur 12 tahun dan mulai tidak mau ganti baju ditonton adiknya.

Wajah Zach sudah mulai keruh, dia tidak suka tidur sendiri. Selalu dibuatnya ada-ada saja alasan supaya saya lebih lama menemaninya. Disuruh nyanyi lah, dongeng lah. Kali ini setelah 15 menit, Zach belum juga tidur.

Umak : Dek, kok gak tidur-tidur sih? Umak udah nyanyi dari RHCP ampe Westlife beginih..

Zach : It's not fair you know...

Umak : What's not fair?

Zach : Ebak can sleep with you. Why should I sleep alone?

Umak : That's the rule, Baby. Sorry.

Zach : But Ebak is a grown up! You said big boy sleep alone!

Umak : Ya big boy. Kalau sudah 'man' dan married, you have to sleep together with your wife

Zach : So, if I have a wife I could sleep with her?

Umak : Of course.

Zach *sumringah* : ADEK MAU NIKAH SEKARANG!!!

Terry

Seperti apa masa kecil anda?

Masa kecil saya bervariasi. Dari mulai memori manis sampai memori terburuk, saya punya. Piknik bersama dengan Bapak dan Mama, naik mobil pertama Bapak, VW Kodok hitam putih yang akinya menggelincir keluar di jalan menurun, terjun bebas ke sawah waktu naik sepeda dikejar anjing..ah..

Kadang pada saat diam merenung, memori itu seperti flash back dan saya tersenyum-senyum sendiri, kadang menangis kalau yang saya ingat bagian yang sedihnya.

Seperti layaknya anak yang besar di tahun 80'an, saya adalah salah satu korban imajinasi Enid Blyton. Saya ingin sekali berpetualang seperti Lima Sekawan, dan saya tergila-gila dengan Julian. Sayangnya saya adalah tipe penyendiri sejak kecil dan saya tidak punya teman dekat yang mau berpetualang seperti saya. Yang perempuan merasa saya terlalu bandel untuk diajak main bersama, anak lelaki sepertinya entah kenapa selalu merasa terintimidasi oleh saya. Badan saya yang sejak dahulu tinggi besar juga sangat tidak membantu. Anak-anak jahil biasanya mencela saya "Dasar Si Mea, GENDUT!" dan anak-anak yang masih mau bermain dengan saya biasanya kena ledek dan akhirnya merasa uncool bermain dengan saya. Well, beberapa kali saya nyaris melayangkan tinju, tapi saya capek sendiri dan akhinya memutuskan untuk bersolo karier.

Saya tinggal di sebuah kota kecil di pedalaman Sulawesi Selatan. Kota yang cantik, nyaris terisolasi, dan potensial untuk berpetualang. Kota ini dikelilingi pegunungan, banyak gua, dan sekitar 500 m dari rumah saya terbentang danau terdalam di Indonesia, Danau Matano. Itulah surga saya. Setiap hari, pulang sekolah, sebelum berganti baju dan masih membawa tas echolac, saya berenang lengkap dengan seragam merah putih saya. Berenang di antara rakit-rakit milik expatriate yang bekerja di perusahaan tempat Bapak bekerja, maling-maling bermain-main dengan sailing boat di Yacht Club tanpa sepengetahuan penjaganya. Oh yeah I was a big trouble back then. No wonder the normal kids club woudn't do anything with me.

Saya tidak peduli lagi walaupun saya tidak punya teman dekat. Saya puas dengan kesendirian saya dan danau-danau, gunung-gunung, dan gua-gua saya. Naik ke bukit cadas, merangkak di gua bekas sembunyi Kawanan Kahar Muzakar yang penuh tengkorak manusia, menyelam ke bawah dermaga. I had my own private adventure. I didn't need anybody.

Karier solo saya berakhir dengan hadirnya Terry. Mimi di Bandung dulu memiliki beberapa anjing yang entah apa rasnya. Waktu salah satu di antaranya, Miko, melahirkan beberapa anjing kecil, salah satu di antaranya dibawa oleh Uwak Agus, kakak Bapak yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Bapak, ke kota kecil ini. Anak anjing yang dibawa Uwak kecil dan buruk, dinamai Ikus karena mirip Tikus oleh keluarga Bandung. Si buruk rupa yang lucu ini akhirnya diberi nama baru oleh Uwak : Terry.

Sejak Terry berumur 6 bulan dan boleh bermain sendiri, setiap pulang sekolah saya menjemputnya di rumah Uwak dan kami bermain ke pantai. Sebuah bola tenis buruk selalu saya bawa di kantong celana pendek saya dan saya akan melemparnya sejauh mungkin ke danau lalu kemudian Terry akan berenang mengambilnya.

Kadang kami berenang berdampingan di antara perahu-perahu dan berlari-lari di tengah ilalang yang 2 meter tingginya. Suatu hari Terry pernah menyelamatkan saya waktu kaki saya terbenam lumpur di dasar danau. Saya berpegangan pada badannya dan dia menarik saya sambil berenang.

He was my best friend. Never ever once he judge me.

Tapi saya tidak sempat membalas budinya. Waktu saya berumur 13 tahun dan mulai dilirik oleh kakak kelas, saya seperti melupakan Terry. Kehidupan pra remaja sepertinya lebih menarik bagi saya saat itu. Saya mulai takut berpanas ria, mulai sibuk dengan perasaan dan menghabiskan banyak waktu di kamar, menulis puisi di dalam buku harian.

Dan saya melupakan Terry.

Terakhir saya bertemu dengannya, usianya sudah tua. Emosinya sering tidak terkontrol dan banyak tetangga yang takut dengannya. Badan Terry yang tergolong besar untuk anjing piaraan yang tidak dikandangi membuat orang was was untuk mengelusnya.

Saya pun jadi ragu.

Maafkan saya Terry. Maafkan saya yang memilih untuk menyebrang ke dunia remaja lebih cepat. I guess the idea of boys started to notice me, Si Mea Gendut, was too much for me. Too overwhelming. And once I cross that line, there was no turning back.

I said bye bye to adventure, welcome romance.

And I forgot to say byebye to Terry. And thank you.

Too late.

Sunday, February 10, 2008

After 12 Years Marriage and 3 Years Dating

Sudah ada seminggu ini, Abang setiap diomelin selalu memasang tampang frustrasi sambil mengeluh, "Kenapa sih bini gue cerewet banget?" "Kenapa??" "Kenapaaaa???"

Bisa diduga bukannya berhenti ngomel, saya malah jadi tambah merepet saking betenya dicuekin.

Lha, siapa yang gak akan ngomel kalau tissue bekas buang ingus ditaro di mana saja. Iya sih dia sedang flu berat, tapi kan bukan berarti jadi boleh jorok gak ketulungan

Akhirnya walaupun dia selama seminggu ini sakit dan selalu berbaring, dia tidak luput dari omelan saya yang bernada tinggi setiap dia melakukan sesuatu yang saya tidak setuju.

Yeah, we love each other deeply, tapi tidak mencegah kami untuk cekek-cekekan kalau perlu

Puncaknya saya sebel sekali hari ini waktu Abang menemukan cara baru kalau saya sudah merepet. Dia angkat 2 jarinya, pasang tampang rese sambil bilang, "Talk to my hand!"

Hayo lah, tahan tahanan, siapa yang lebih nyebelin !!

Tuesday, February 05, 2008

Karena (Katanya) Putih Itu Cantik



Saya termasuk salah satu manusia yang dengan rela dibodoh-bodohi bahwa putih itu cantik. Sebenarnya kalau nanya diri sendiri, saya gak masalah dengan warna kulit, tapi kenyataannya dunia kecantikan sudah setuju bahwa makin putih berarti makin cantik. Dan berbondong-bondonglah perempuan di seluruh dunia memakai produk pemutih. Untung saja tidak sedesperate itu sampai membenamkan wajah di cairan bleach untuk pakaian.

Sekali lagi, saya tidak menganggap hitam itu buruk. Selagi terawat, tidak ada yang jelek. Kulit putihpun kalau jorok tentunya tidak enak dilihat. Susahnya, saya latah. Walaupun saya tidak merasa cantik, tapi saya mulai berpikir untuk memaintain kulit saya sebisa mungkin wrinkle-free. Banyak alasan kenapa saya tidak mau kulit saya berkeriput, tapi saya rasa alasan terbesar saya adalah : ikut-ikutan orang.

Jadi bulan kemarin saya kesambet dan beli 10 lembar masker yang dibungkus individual, untuk dipakai malam hari. Iklannya sih untuk memutihkan kulit wajah, merawat supaya tetap lembut, putih, dan kenyal (kok kayak kue moci?)

Lalu malam tadi, dengan mengambil resiko suami saya terbangun dari tidurnya dan kemudian shock beyond repair dan harus seumur hidup dalam terapi, saya diam-diam pergi ke kamar mandi dan memasang salah satu masker yang saya beli tersebut.

Dasarnya saya memang jarang sekali pakai masker, saya malah cekikikan waktu kemudian berbaring di sebelah suami dan membayangkan dia terbangun, menoleh dan horrified kalau dia sampai melihat wajah saya yang dimasker. Hampir saya buka, tapi godaan untuk mendapatkan kulit mulus tak berkeriput demikian hebatnya.

Pagi ini saya bangun untuk menagih janji iklan masker tersebut dan berharap bahwa uang yang saya keluarkan untuk membeli masker yang harganya ridiculous ini sepadan.

Phew, apa mata saya membohongi saya...apa saya tersugesti jargon jargon iklan kecantikan.. tapi kok perasaan muka saya lebih segar bangun tidur kali ini.

Ah, beli masker lagi gak ya?

Monday, February 04, 2008

Libur Kapaksa

6,7,8 February 2008, libur Chinese New Year. 1.3 milyar penduduk China dan sebagian besar daripadanya mudik! Ngebayangin orang Indonesia yang gak sampe 300 juta mudik aja sudah begidik, gimana di sini. Yang jelas kereta api, pesawat, dan bus pasti sudah fully book, jalanan sudah mulai macet, antrian di Metro dan Carrefour sudah kayak pendaftaran SIPENMARU.

Lha kita mau kemana?

Libur 3 hari, keinginan sih tinggi untuk jalan-jalan, sightseeing, dan moto tentunya, tapi sekali lagi terbentur pada cuaca yang amit-amit dinginnya! Berhubung kita sekeluarga memang keluarga tak bermobil ya cuma bisa mengandalkan kendaraan umum. Nah, supir taksinya pada mudik sebagian, ya kita terlantar

Seperti kemaren sore. Keinginan untuk hunting yang tinggi, ditambah waktu pagi-pagi keluar matahari terik dan angin yang menderu-deru kebetulan sedang absen, sorenya saya ngajak Abang dan anak-anak untuk jalan ke People's Park dan Olympic Square.

Setelah memakai baju 4 lapis+jaket, sarung tangan, tutup kuping, dan kupluk, kami dengan semangat menunggu taksi di depan Hotel. Tapi tidak ada satupun taksi yang lewat. Kita putuskan untuk menunggu lebih lama.

Menit pertama :

Abang : Gila dingin banget! Kuat gak nih anak2?

Anak2 dan saya : Kuaaaat!!!

Menit Kedua (taksi masih belum kelihatan) :

Abang : Gak akan kuat kayaknya ke People's Park. Tempatnya terlalu terbuka.

Saya : Ya ke Olympic saja lah. Kalau kedinginan kita bisa lari ke Mc Donald.

Menit Ketiga (taksi mana ya?)

Abang : Muka gue udah beku

Saya : Salah sendiri gak pake Nivea

Menit keempat (masih gak kliatan taksinya)

Zachary : I got brainfreeze!

Abang : Yakin nih mau pergi?

Menit kelima (taksi masih gak ada baunya)

Shafira : Brrrr...I forgot my hat...

Saya : Ya udah cancel aja yaaaa...

Menit keenam : Masuk kembali ke Hotel, pulang ke apartement.

Di lift menuju lantai 7 :

Saya : Time to spend on preparing to go and wearing winter clothes : 40 minutes

Time to spend waiting for taxi in freezing winter wind : 5 minutes

Decided to go home cancel the trip and back to warm apartement : PRICELESS

Gak nyambung sih, tapi kita semua ngakak bego waktu itu

Sunday, February 03, 2008

Sepanjang Masa

Aku ingin membahagiakanmu..tetapi setiap kita bersama sepertinya kita hanya menyiletkan luka.. Setiap tatapmu seperti memancarkan kemarahan dan bertanya kenapa.. Dan aku tidak bisa menjawabnya.. Dan aku tak sanggup melihat kebisuanmu..melihat sinarmu layu..melihat kekecewaanmu..

Kau datang dengan sejuta harap..yang tidak bisa aku berikan.. Kau datang menyambut cinta tapi bukan cinta seperti yang kau damba yang aku balutkan..Aku mengecewakanmu, sepertinya. Dan aku tak mampu berdamai dengan kekalahanku.

Maafkan, mungkin yang terbaik adalah membiarkan dia memilikimu seutuhnya..

Aku rela.. aku rela.. aku rela...

Waktuku memilikimu memang tak pernah bisa lama..Di seberang jalan kumelepasmu seperti melepas separuh nyawa...

Kembalilah padaku nanti kalau sudah waktunya..Sementara itu, cintaku padamu tetap sepanjang masa

Tiada akhirnya...

Minggu, 3 February 1991-2008

Untuk ASKB, semoga suatu saat kau mengerti.