Saturday, June 17, 2006

Let me tell you a story Part 2

Tatapanku kosong, memandang jauh ke titik yang tak jelas di mana.
Berita dari suamiku bahwa dia harus pergi ke Singapore dalam waktu dekat merupakan berita gembira sekaligus mengguncang buatku.

Sejak kami berpacaran, belum pernah lebih dari 3 hari kami berpisah.
Tapi kali ini perusahaan barunya di Singapore menetapkan bahwa suamiku setidaknya harus bekerja selama setidaknya 3 minggu pertama di sana.

Sekali lagi kami terbentur faktor uang.

Hari ini aku menghitung diriku beruntung. Seorang temanku tiba2 membayar hutangnya sebesar Rp. 15.000.Cukup untuk hidup sampai akhir bulan.
Mudah2an gajian tidak telat seperti yang kadang2 terjadi.

Aku lelah. Aku bahagia tetapi lelah. Masalah uang seperti tidak kunjung menghilang.
Entah bagaimana caranya kami mendapatkan uang untuk kepergian suamiku ke Singapore ini. Seperti menghadapi buah simalakama. Tidak diterima berarti kami harus menerima terjebak selalu dalam kota kecil ini dan tidak berkembang. Diterima berarti harus mencari pinjaman yang tentunya tidak kecil.

Ingatanku melayang kepada peristiwa 3 tahun yang lalu, kala kami baru saja menikah.

Waktu itu kami betul2 tidak punya apa2 untuk memulai hidup baru. Suamiku baru saja bekerja selama 5 bulan setelah lulus kuliah. Tapi kami beranikan untuk menikah karena aku dan dia tak sanggup untuk berpisah. Aku saat itu masih di Bandung-Jakarta dan dia harus bekerja di Cikampek. Sungguh sakit perpisahan walaupun hanya sementara.

Kami mulai hidup kami dari minus, bukan lagi dari nol.
Aku masih ingat wajah ayahku ketika mengantarkan kami seusai pernikahan ke kota kecil tempat suamiku bekerja sebagai Management Trainee di Perusahaan Poly Ethylene, wajahnya yang biasanya selalu ceria di hadapanku berubah sendu ketika mendapati kamar kecil yang kami sewa per bulan tidak bisa diparkiri mobil halamannya karena masuk ke dalam gang kecil yang becek.
Ketika suamiku turun dari mobil ayahku dan mendahului masuk ke gang, ayahku berbisik padaku,
"Nong, tidak bisa dapat rumah yang bisa masuk mobil ya?"

Aku tersenyum sambil menguatkan hati, "Gak apa2, Bap. Ini kan sementara."

Kamar itu berlantai ubin standar, mempunyai 1 kamar mandi di dalam yang hanya disemen dan 1 pintu yang mengarah keluar, ke dapur yang terbuka, hanya ada tembok berkawat berduri yang membatasi bagian belakangnya.

Setelah ayahku pergi, aku menatap ke sekeliling kamar itu dan berpikir dalam hati, "Not bad. Kamar kost-ku juga tidak mewah selama di Bandung."

Tanganku menggenggam amplop uang yang tadi diselipkan ayahku di tanganku. Aku sempat ingin menolak, tapi dia ayahku, wajar kalau dia ingin membantu di awal pernikahan kami.
Kubuka amplop itu. Subhanallah, ada Rp. 2.500.000,- di dalamnya.
Jumlah terbesar yang pernah aku pegang seumur hidupku.

Aku merasa jadi orang paling kaya sedunia!!

Sore itu juga kuajak suamiku membeli perabot rumah dan dapur.
Dan hari itu juga aku menemui satu kenyataan hidup :

Rp. 2.500.000,- itu tidak banyak kalau dibelikan barang perabotan rumah dan dapur.

Pulang ke rumah, setelah membeli kasur, tempat tidur, lemari plastik, kompor minyak, gelas, piring, seprei, alat mandi dll, uang itu tinggal bersisa Rp. 700.000 lagi.
Tak apa lah, yang penting sudah bisa tidur dan masak dengan nyaman.

Aku salah.

Malam itu aku menyikat kamar mandi. Membuka saringan air di lantainya, dan menemukan bahwa ternyata itu bukan hanya saluran pembuangan air, tetapi Rumah Gadang-nya kecoak.
Nenek buyut, Kakek buyut sampai cicit2nya hidup di sana dan mulai merambat menaiki lobang yang terbuka.
Kuhitung sekali lintas, kuperkirakan ada sekitar 200 kecoak di sana.
Oh My God.

Untung aku tak takut kecoak. Kuambil Baygon dan kusemprot mahluk2 tersebut sambil berteriak,
"Duh, maaf ya. Dulu mungkin ini rumahmu, tapi ini sekarang kamar mandiku! You are not welcome here!"

Itu kejutan nomer 1.

Kejutan nomer 2 terjadi di pagi harinya.
Kami terbangun saat azan subuh. Tapi sebenarnya bukan azan yang membangunkan kami, tetapi bau menusuk hidung yang membuat aku dan suamiku seketika mual.
Aku menyodok pelan tangan suamiku, "Yang, bau apa ya ini?"
Suamiku memicingkan mata dan bertanya, "Tadi malam Yayang pipis gak disiram bener kali ya?"
Aku menyodok pinggangnya kali ini. Iseng betul dia.

Penasaran aku mencari2 asal bau dan mengendus-endus keliling kamar.
Akhirnya kubuka pintu yang menghubungkan kamar dengan dapur darurat kami.
Aku berseru kecil pada suamiku, "Yang! Tembok pembatas di belakang ini membatasi dengan apa sih?"
Suamiku dengan terkantuk2 datang ke belakang sambil menggerutu, "Gak tau ya, gak pernah lihat. Aku kan juga baru 1 malam di sini."
Aku mencolek tangannya, "Coba intip."
Suamiku tampak enggan, tapi mungkin demi pengantinnya dia akhirnya bersedia naik ke atas bangku kecil yang aku siapkan.

"Alamak! Di belakang kita ini ada pabrik Pupuk Kujang, Yang. Kita tepat berada di sebelah parkiran truknya. Dan yang baunya bujubuneng itu adalah truk amoniak!"

Aku tak tau apakah mau tertawa atau menangis.

Tuesday, June 13, 2006

Let me tell you a story Part 1

Waktu itu aku sedang kesepian. Di rumahku bertipe 21 yang lantai belakangnya hanya disemen, dan halaman belakangnya terbuat dari gedeg alias bilik.
Teman2 sekaligus tetanggaku semua aku tinggalkan di kompleks perumahan sebelah, yang lebih ramai, dan lebih mahal harga kontrakannya.

Aku dan suamiku tak sanggup lagi membayar harga kontrakannya, Rp.900.000/tahun, yang tahun ini naik menjadi Rp. 1.000.000,-
Jadi kami pindah ke sini, ke kompleks perumahan yang lebih muda, kosong, tak punya tetangga, tapi murah. Uang sewanya 1 bulan hanya Rp. 50.000,-
Tetangga terdekatku hanya seorang tukang kerupuk bersama istri dan anaknya yang berumur 2 tahun, yang baru 1 minggu yang lalu tersiram sepanci air mendidih karena bermain terlalu dekat dengan kompor yang diletakan di dekat kamar mandi saking sempitnya rumah tsb.
Tahukah kamu berapa besar, hmm berapa kecil rumah tipe 21 itu?
Sebuah kamar berukuran 3 x 2.5 m, sebuah ruang tamu dengan besar yang tidak jauh dari itu, dan sebuah kamar mandi mungil yang cuma muat 1 orang + 1 ember cuci.
Di sebelah kamar mandi ada pintu ke belakang, ke ruang cuci terbuka yang diisi dengan sebuah pompa tangan. Airnya butek.

Aku, suamiku, dan anak perempuanku yang baru berumur 2 tahun, bahagia di sana.
Suamiku Insinyur, bekerja sebagai Supervisor di sebuah perusahaan gypsum.
Gajinya tidak lebih dari Rp. 1.000.000,-
Sebagai bayangan, susu anakku saja 1 bulan mencapai Rp. 300.000,-
Sisanya pas untuk makan sebulan, kadang kurang.

Suamiku jujur. Padahal pekerjaannya memungkinkan dia untuk mendapatkan suap dari sana sini. Apalagi dia dan tim-nya membangun perusahaan Gypsum itu dari dasar. Kontraktor yang berseliweran dan ujung2nya menawarkan uang asal jualannya di-acc, selalu ada dan menggoda.
Suatu saat dia menerima uang 'hadiah' dari salah satu kontraktor itu.
Bukan suap kata mereka, hanya hadiah karena suamiku sudah bekerjasama dengan baik.
Suami dan rekan kerjanya saling berpandangan.
Aku di rumah perlu uang, anak perempuanku sedang sakit.
Kepalanya penuh bisul, dia alergi dengan susu full cream, tapi karena susu full cream harganya lebih murah dari susu formula, aku terpaksa memberinya susu full cream saja.

Uang itu tak pernah dia bawa pulang.
Dia putuskan untuk memberikan uang itu kepada asistennya, untuk dibagikan rata kepada seluruh anak buahnya, berjumlah 15 orang. Gaji mereka hanya Rp. 300.000,-/bulan.
Mereka lebih memerlukannya.

Hari itu aku terdiam. Aku bahagia. Rumah kontrakanku kecil, airnya butek, dan dinding belakangnya terbuat dari bilik.
Tapi rumah ini damai, anakku cantik, suamiku jujur, dan bunga di halaman depanku yang cuma sepetak itu tumbuh dengan indahnya.

Hari itu aku tak punya uang. 1 minggu sebelumnya uang belanjaku yang tinggal Rp.70.000,- aku pinjamkan kepada tetanggaku yang anaknya baru tersiram air mendidih itu.
Aku ingat saat itu dia berlari ke rumahku sambil menangis,

"Ibu..Ibu...tulungan...anak abdi...anak abdi..."

Aku langsung meninggalkan cucian bajuku dan ikut berlari ke arah rumahnya.

Anak laki2 sebaya anakku sedang terkapar di lantai, lepuh sekujur tubuhnya tersiram sepanci air mendidih.
Aku menjerit dan entah bagaimana, sanggup membawanya ke dalam kamar mandi dan menyiram badan kecilnya yang lepuh dengan air dari dalam bak.
Anak itu shock.

Orang2 yang lewat sudah berkumpul di pintu depan.
Aku berkata pada Ibu si anak, " Bu, ini harus dibawa ke Rumah Sakit."
Ibu anak tersebut hanya menggeleng-geleng sambil menangis, "Abdi teu gaduh artos, gak ada uang, Ibu..."
Aku tertegun, ingat isi dompetku yang juga minim.
"Insya Allah, saya ada!"

Aku berlari ke arah rumah ketua RT, sekitar 200 m dari sana, dengan anak itu di pangkuanku. Ketua RT adalah satu2nya yang keluarga yang punya mobil di sekitar situ.
Ibu RT membuka pintu.

Aku langsung menyambar, "Ibu, anak ini tersiram air panas. Mohon bantuannya untuk mengantar ke Puskesmas."

Ibu RT tampak shock, dari cerita yang aku dengar, dia pernah kehilangan anaknya yang berumur 1 tahun dalam peristiwa tragis. Ketika sedang memandikannya di dalam ember mandi bayi, Ibu RT keluar kamar mandi sebentar untuk mengambil handuk. Entah bagaimana ceritanya ketika ia kembali kurang dari 5 menit kemudian, anaknya sudah tenggelam di dalam ember tersebut. Sudah tak bernapas lagi.
Pemandangan seorang anak kecil melepuh di depannya tentunya sangat memilukan hatinya dan membuka luka lamanya.

Mobil Ketua RT yang butut itu melaju ke arah Puskesmas.
Anak Pak RT yang menyetir. Ibu si anak di sebelahku menangis tak henti2.
Sampai di Puskesmas langsung ditolong oleh dokter.
Untungnya tidak separah bayangan kami. Anak itu boleh pulang, tapi harus dirawat baik2.
Biaya pengobatan Rp. 60.000,-

Sekarang, 1 minggu kemudian, aku duduk di sofa bututku yang kubeli dengan harga Rp.30.000,-/1 set dari tetangga yang butuh uang karena anaknya masuk rumah sakit karena tipes.
Aku menatap keluar.
Suamiku sebentar lagi pulang kerja.
Anak perempuan cantikku sudah mandi, memakai pita dan baju merah hadiah dari neneknya.
Dari mana aku bisa punya uang untuk besok membuat Bubur Ayam kesukaannya?
Hari ini, uang Rp.500,- yang terakhir sudah aku pakai untuk membeli sayur bayam dan ikan asin.

Suamiku datang. Ketukan di pintu tak seperti biasanya keras, seperti tak sabar.
Kubuka pintu itu secepatnya, dan kutatap wajah yang sangat aku cintai tersebut.
Ada sesuatu yang lain di matanya.

"Sayang, ingat waktu aku ngelamar ke perusahaan Singapore yang punya cabang di Jakarta?" "Hari ini datang email, lewat Bambang." "Aku diterima!"

Aku memeluknya erat. Sudah lama ia ingin keluar dari Cikampek. Ingin memperbaiki kehidupan kami. Dan sepertinya jalan yang dicarinya sudah terbuka.

Anak perempuanku menarik2 celana pendekku sambil bergelayutan di kakiku.

Aku tatap mata suamiku, "Jadi, kita pindah? Ke Jakarta?"

Suamiku nyengir, "Iya, ke Jakarta."

Aku berpikir keras, dari mana kami dapatkan biaya untuk pindah?
Buat makan besok saja tidak ada.

Suamiku menjawil tanganku.
"Ada satu masalah, Sayang.. email itu menyebutkan aku harus ke Singapore tanggal 19 nanti untuk lapor hari pertama kerja sekaligus briefing. "

Mulutku ternganga.
Singapore????????

Dari mana uangnya????????????

Monday, June 12, 2006

Fourplay ;))

Tenang, bukan Foreplay :))

See..Nyonya Ratu Teganian ini memaksa saya untuk membuka kedok saya lagi.
Sebenarnya agak sulit karena memori saya sudah karatan.
Tapi kita coba deh.

1. Empat Pekerjaan.

-Pernah jadi Sekretaris Direksi dari Direktur yang gatel2 yang salah satunya pernah berusaha memegang paha saya.
-Pernah jadi Penyanyi Part Time di Puri Pub, Bandung.
-Pernah jadi Penyanyi keliling (Wedding, Office Functions, 17 Agustusan), gig terakhir tahun 1997 di News Cafe Jakarta.
-Tukang bikin surat cinta dan puisi buat teman2 waktu di SD dan SMP dengan bayaran paling murah Rp.250 dan paling mahal Rp.1500,-

2. Empat Tempat Tinggal

Lahir di Bandung, masa kecil di Sulawesi, lalu ke Bandung-Jakarta, sekarang di Singapore.

3. Empat Film Yang Sudah 100x Ditonton

- My Best Friend's Wedding
- Liar Liar
- Con Air
- Bourne Supremacy

4. Empat TV Shows Favorit

-CSI
-CSI Miami
-CSI New York
-Supernatural


5. Empat Favorite Food

-Pempek
-Nasi Goreng
-Emping
-Kupat Tahu

6. Empat Situs Favorit

- Fotografer.Net
- Yahoo!
- My Secret Admirer
- My Personal Chef

7. Empat Lemparan?

Gimana ya? Siapa yang mau? Hehehehehe

Sunday, June 11, 2006

Could I, Will I, Should I ?





leave them?
*suspense banget nunggu keputusan*

Monday, June 05, 2006

Torn Between Two Countries

I just realized that maybe I will miss Singapore when I have to leave someday.
No, not MAYBE, but DEFINITELY.
Mengapa tidak, lebih dari 2/3 kehidupan pernikahan kami dijalankan di Singapore.
Aku pertama melihat Shafira sekolah di sini, aku merasakan frustasinya hidup tanpa pembantu sama sekali di sini, aku mengandung Adam dan segala rintangannya di sini, aku berantem hebat sampai ingin pulang di sini, dan aku sadar bahwa aku ternyata sangat mencintai suamiku di sini.

Dan aku sadar aku takut pulang ke Indonesia.
Ternyata mau tidak mau, kenyamanan Singapore yang selama ini tidak aku syukuri dan tidak aku akui, mulai mendarah daging di dalam diriku.

Mungkin aku tidak akan kangen dengan manusia2nya yang kebanyakan dingin seperti gunung es.
Tapi aku akan kangen dengan beberapa di antara mereka yang begitu manis dan mewarnai hidupku.
Aunty Lim di McDonald sebrang yang selalu tersenyum sambil bertanya mau sarapan apa aku pagi ini, Aunty Tan yang berjualan minuman di Coffee Shop, Aunty yang aku tak tau namanya yang sering menegur aku dan anak2, walau ujung2nya bertanya, "Got $5 or not? Haven't makan since morning, lapar..."
Kakek India tua yang setengah gila tapi baik hati yang suka minta rokok ke Abang dan kalau bertemu aku selalu menunduk sambil menyapa dengan bahasa Indonesia patah2, "Apa kabar Ibu? Sudah makan?"

*sigh*

Aku menyebrang jalan di depan kemarin, ketika bus nomer 941 yang biasa kunaiki lewat di depanku. Aku melihat sekilas di dalamnya, supir bus yang hampir setiap hari kutemui, dan kami saling melambaikan tangan.
Dan seketika itu juga aku sadar, aku akan sangat merindukan Singapore.

Aku ingat, hampir 7 tahun yang lalu kala pertama kali menjejakkan kaki di daerah perumahan di Singapore dan dengan kekecewaan yang sangat melihat kondisi flat di Singapore yang jauh dari bayanganku. Dilanjutkan dengan misi mengenal tetangga yang bisa dibilang kurang berhasil. Sepanjang hari aku tersenyum dengan semua tetanggaku waktu mereka melintas di depanku dan aku hanya dibalas dengan tatapan curiga.
Satu di antara mereka malah sempat bertanya waktu aku mengucapkan selamat pagi, "Are you trying to sell something?"

Yeah. So much for Asian Hospitality.

Sekarang 7 tahun kemudian, kepedihan itu sudah tiada. I just laugh it off setiap bertemu dengan orang yang hostile sikapnya.
Dan terus terang aku sendiri mungkin sudah mulai seperti mereka, curiga dengan orang asing yang tiba2 menghampiri.

Which remind me again now, aku takut kembali ke Indonesia.

Sampai sini, apakah aku sudah mulai kedengaran sombong?

Aku harap tidak.

Aku berusaha membujuk diriku dengan mengatakan, "Bukankah ini yang selalu kamu inginkan selama bertahun2?" "Kala kamu menangis merindukan keluarga, makanan Indonesia, even the smallest thing like Silver Queen membuat kamu ingin pulang?"

Jawabannya iya.

Tapi aku gemetar dan ketakutan ketika teman2ku yang bisa dibilang fresh baru datang dari Jakarta ke Singapore dan kemudian menetap di sini bercerita tentang segala macam kejahatan yang terjadi di Jakarta.
Kejahatan yang waktu aku meninggalkan Jakarta bisa dibilang tidak sebegitu parah.

Dan aku ciut, jadi pengecut.

Dan kemudian aku marah pada diri sendiri.

Bagaimana aku bisa merasa begini terhadap negaraku sendiri? Racun apa ini yang mengaliri darahku sehingga aku begitu takut tinggal di negriku sendiri?

Aku malu.