Tuesday, January 24, 2006

Palembang




Hatiku tertinggal di Sungai Musi :)

Monday, January 23, 2006

Cinta Natalie

Terburu-buru langkahku menuju rumah sore itu, sudah 3 jam aku meninggalkan anak2ku dalam pengawasan suamiku karena aku harus menghadiri Talk Show yang diselenggarakan oleh kelompok penulis dalam Forum Lingkar Pena di Nanyang House, belum dihitung waktu yang kuhabiskan untuk mencari taksi yang entah mengapa setiap siang hari selalu langka ditemukan di jalan depan rumahku.
Masih harus ditambah perjalanan selama 45 menit mencari lokasi acara tersebut yang mengherankannya, bahkan mahasiswa yang kuliah di kampus Nanyang Technological University sulit untuk menemukannya.

Bukan murni salah mereka, kampus NTU memang besarnya mengalahkan kompleks perumahan elit di Jakarta. Papan petunjuk jalannya pun sedikit membingungkan.
Untung aku sampai di acara tersebut tidak terlalu terlambat dan masih bisa mengikuti sesi keduanya. Sesi pertama terpaksa aku lewatkan karena aku harus memasak makan siang untuk suami dan anak-anakku dulu. Itu memang salah satu syarat suamiku. "You can do everything you want after you finished your job. And that means washing,cooking,housekeeping etc etc."
Buatku kadang syarat itu menjadi impossible. Apa bisa aku melakukan apa saja yang aku mau kalau tenagaku sudah habis karena mengerjakan semua pekerjaan di rumah?
Tricky

Dalam ketergesaanku menuju rumah aku hampir saja melewati sesosok perempuan yang sekilas aku kenal karena dia adalah ibu dari teman sekolah anakku. Anakku dan anak-anaknya juga pergi dan pulang sekolah dengan School Bus yang sama. Anakku yang besar, perempuan, berteman baik dengan anak perempuannya, si bungsu dari 3 anak. 2 laki-laki dan 1 perempuan.
Perempuan itu sedang terduduk di sebuah bangku di ruang kosong di bawah Apartement Block-ku.
Di Singapore tempat aku tinggal ini memang hampir semua apartement block lantai satunya tidak diisi rumah, tetapi dikosongkan untuk tempat tetangga berkumpul apabila ada cara perkawinan, pemakaman atau hanya sekedar untuk tempat beranjangsana.
Ruang kosong ini diisi dengan bangku dan meja permanent untuk duduk-duduk. Tak jauh dari bangku-bangku tersebut sebuah Vending Machine tempat membeli minuman ringan biasanya dipasang untuk melengkapi fasilitas tersebut.

Perempuan itu menoleh ketika aku lewat. Senyumnya mengembang tipis mengenali wajahku yang familiar baginya. Sesuatu yang langka ditemukan di Singapore, walaupun kami berdua juga tetangga, tapi itu bukan jaminan untuk saling bertegur sapa.
Paling jauh hanya saling mengangguk apabila kebetulan menaiki lift yang sama. Tidak ada pertukaran kata.
Apalagi dengan dia aku tidak tinggal di block yang sama. Kami tinggal terpisah beberapa blok. Itu mengapa aku agak heran melihatnya duduk di bawah blokku.

Aku tahu namanya Natalie. Dia adalah seorang Eurasian, dengan darah campuran Melayu, Cina, dan Australia. Suaminya juga eurasian dengan darah Melayu, Cina, dan Scotland. Tak heran 3 anaknya, Ashley, Bryan, dan Sally mempunyai wajah yang unik dan manis-manis. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena badannya yang dulu sangat montok berubah menjadi langsing.
Aku mendekatinya, "Hi, neighbour..," kataku sambil menepuk bahunya pelan.
Natalie membalas sapaanku, dan kami mulai berbincang-bincang dalam bahasa campuran Inggris dan Melayu.
Kami berbicara tentang anak-anaknya, anak-anakku, dan tentang sekolah mereka yang makin lama makin sulit materi pelajarannya.

"Excuse my malay, Dear.. I better talk to you in English, my malay is so poor I barely can understand you," katanya sambil sekali lagi mengembangkan senyum tipisnya.
Aku tergelak, "It's okay, Nat. My Malay is not that good either, and if I talk to you in Bahasa Indonesia you'll be crazy trying to understand the slang. " "Eh, by the way, you've slimmed down, you look really nice."
Natalie tersipu, "Aiyoh, I lose weight because of 'susah hati', lah.."

Sambil menghela napasnya, Natalie tiba-tiba berkata, " It's about Sally, she failed all subjects last year. I don't know what to do." "She refused to go to school everyday." "I must struggle just to wake her up and getting her ready." "She said she just want to stay home with me."

Aku menatapnya. Ingin bertanya tapi takut melanggar privacynya. Saat itu juga lihat bening menggenang di matanya dan aku tak sanggup lagi menahan tanya, " Something wrong at home, Nat?"
Meledak tangis Natalie dan di antara isaknya kudengar, "I think my husband has an affair."

Aku tertegun. Perempuan secantik ini? Dikhianati?

Lalu mengalirlah ceritanya, sudah setahun ini suaminya pulang setelah pergantian malam, setiap ditanya ia menjawab kerja dan kerja. Setiap hari pula suaminya selalu terlibat dalam percakapan dengan suara perlahan di dalam telepon genggamnya. Selalu dalam keadaan gelisah dan tak betah di rumah.
Setelah keadaan semakin memburuk, Natalie mulai melakukan penyelidikan dan puncaknya, hari itu, Natalie menelpon perempuan yang selama berbulan-bulan ia curigai sebagai kekasih suaminya, di depan suaminya.
Dan pintu neraka terbuka seluruhnya.

"Today is Ashley's 13th birthday, and he saw us having a big fight." "He's now completely understand why his father didn't come on his prom night last year. He knows everything now, " isak Natalie lirih.
"What should I do? What should I do?"

Kugenggam tangannya. Mataku basah. Aku memahami kepanikannya.

"I met him when I was 19, I married him when I was 22. I dedicated all my life to him and our family, and now suddenly he said I better lead my own life, and he leads his own, there's no need for divorce, just for the sake of the kids."
"But how about my heart????"
, jeritnya lagi.

Aku kehilangan kata-kata.
Aku seperti mendengar ceritaku sendiri dituturkan olehnya.
Aku juga bertemu suamiku di usia 19, menikah di usia 22, dan kudedikasikan hidupku seluruhnya untuk suamiku dan kemudian anak-anakku.
Natalie sekarang berumur 35, tidak punya pekerjaan, tidak punya pendidikan cukup, dan tidak punya pengalaman apapun untuk memulai bekerja.
She's terrified. I'm terrified.

Kami berdua akhirnya hanya terduduk dalam diam, diselingi sekali-sekali isaknya, dan kata-kata hiburanku yang seperti membentur tembok tebal.
Kutunda kepulanganku ke rumah. Saat ini sosok perempuan yang nyaris asing ini lebih membutuhkanku.

"Natalie, would you take him back if he stopped seeing that woman?", tanyaku.
Bibir cantik itu bergetar hebat.
"If he promised to change to the man he used to be when I marry him. If he promised to love the children and me like he used to be, I will."

Aku menyarankan perpisahan sementara. Itu lebih baik daripada langsung meminta cerai.
Kukatakan sebaiknya mereka sama-sama mengambil waktu untuk berpikir.

Natalie memandangku di bawah bulu matanya yang basah dan berbisik, "But how if this separation will make his love with that woman grow stronger?? I will lose him forever. I can't afford that, I love him so much."

Hatiku seperti ditinju. Kalau ini terjadi padaku, apakah aku akan sekuat dirinya?
Air mataku tumpah berderai derai bersamanya, "Then let it be, Nat..Then let it be.."

Kami berdua bergenggaman tangan di bangku di bawah blok rumahku.
Menangis bersama.
Dua perempuan yang awalnya hanya saling mengenal sekilas, tiba-tiba disatukan oleh sebuah perasaan yang sama, ketakutan akan kehilangan.

Natalie takut karena perpisahan dan kehilangan itu sudah di depan mata.
Aku takut karena semakin lama semakin sering aku mendengar kejadian seperti ini. Sejujurnya aku sangat takut.

Lebih satu jam kuhabiskan bersama Natalie. Waktu akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke rumahnya sebelum anak-anaknya panik mencarinya, kupeluk erat badan ringkihnya yang dulu begitu sintal.
Kuucapkan kata-kata hiburan dan menguatkan untuknya, dan kami saling melambaikan tangan di tengah isak tertahan kami berdua.

Dalam hatiku aku berkata, detik pertama yang akan aku lakukan sesampainya di rumah nanti setelah memeluk anak-anakku adalah mencari suamiku yang tentunya ada di dalam kamar, mendekap guling tercintanya sambil tiduran siang seperti biasanya dia lakukan setiap hari Minggu. Aku akan mencium tangannya dan mengatakan padanya supaya ia jangan pernah pergi meninggalkan aku.
Tak apalah dengan kebiasaannya menaruh handuk sembarangan, kaus kaki yang berantakan dan nyaris tak pernah mandi sepanjang hari libur.
Aku lupakan itu semua asal dia berjanji untuk tetap melakukan itu di dalam rumah kita bersama sepanjang hidupnya, sepanjang hidup kita.

Dan pertama kalinya dalam perkawinan kami aku merasa sangat takut kehilangan.
Tuhan, jaga cinta kami, selamatkan cinta Natalie.


Singapore 23 january 2006

Wednesday, January 18, 2006

Shafira' Heart

Kemaren siang Shafira pulang sekolah, hari pertama sekolah sejak kami pulang dari Palembang, dan sambil tersenyum memberikan kertas putih sobekan dari buku yang bertuliskan :

Dear Umak,

Happy Birthday
Sorry that the birthday prezent is late.
I love you.
And once again Happy Birthday.


Lalu dia mengulurkan sebuah dompet kecil berbentuk ikan yang ujungnya bisa dipakai untuk gantungan kunci.
Dia membelinya dengan uang sakunya sendiri di Bookshop di sekolahnya.
Aku yakin harganya tidak lebih dari $1.
Tapi bagiku nilainya jauh lebih besar dari kamera Canon 350D yang aku impikan.
Infact, bagiku hadiah kecil menjadi tak ternilai harganya.

Dan walaupun aku tak mau, ingatanku kembali ke tahun 1987 waktu kulihat tempat lipstik berwarna hijau yang bagiku sangat cantik dan berharga Rp. 4000 di Mama Departemen Store Kosambi Bandung yang akhirnya kubeli untuk hadiah Ulangtahun Mamaku.
I was so sorry that later on I found out that my mom didn't like that present.

Birthdays

12th Januari 2006

Confirmed. The worst birthday of my life.
Beating the previous one , 12th January 1980.
So far the best one is still 12th January 1994, the day Abang gave me Libby, a big white polar bear doll.

Friday, January 06, 2006

Masuk Breaker!

Ehehehhehe, yang punya blog mau pulang dulu ke Indonesia yah.
Tepatnya ke Palembang, rumah mertua. Sudah 2 tahun gak pulang neh :)

Doain selamat perjalanan pulang pergi yah.
Terutama di pesawatnya ;))
masih inget kan gue takut terbang? :D

See you in 1 week time. Ciao!

Wednesday, January 04, 2006

Little Monster

Kemaren hari pertama tahun ajaran baru.
Fira masuk kelas 4, dan Adam masuk Nursery.

Tidak ada masalah sama sekali. Fira yang biasanya selalu khawatir berlebihan dan nervous, kali ini pede sekali memulai harinya.
Begitu juga Adam, setelah duduk di dalam kelas, dia menoleh ke arah gue sambil melambai "Bye Maaaak!"

Tapi ada satu peristiwa menyebalkan yang terjadi kemudian.

Ceritanya Fira lupa gue isi pulsa handphone-nya, jadi dia pergi ke sekolah tanpa bisa dihubungi ke HP-nya.
Waktu jam istirahat, Fira nelpon gue ;

"Mak, boleh gak Kakak ikut Gamelan sore ini?"
(Fira bergabung dengan team Gamelan di Lianhua Primary School, termasuk satu dari sedikit Public School yang memberikan pelajaran Gamelan sebagai extra kurikuler)

"Lho, ini kan baru hari pertama. Biasanya school bus-nya belum ada yang sampe sore kan?"

"Ada kok Mak..kata Teacher ada!"

"Udah nanti pulang sekolah telepon Umak lagi ya. Ini Eneng pake telepon siapa, kok bisa nelpon?"

"Telepon Syafiqa, Mak..temen sekelas Kakak. Tapi kakak udah kasih 10 cents kok ke dia buat ganti pulsanya."

"Ya sudah jangan lama2. Nanti pulang sekolah telepon Umak lagi dari telepon umum ya."

"Ok Mak"


Jam 12 siang gue ngerasa kasihan kalau Fira harus bolos gamelan, gimana caranya biar dia tau ya dia boleh ikut gamelan?
So, gue kirim sms ke Handphone Syafiqa yang tadi dipakai Fira, dengan harapan message gue akan dia sampaikan ke Fira.

Isinya : "Hello there, I'm Shafira's mother. Could you please tell Shafira she could go to the gamelan lesson today but tell her to call me first after scool? Thanks Dear."

Saat itu messagenya tidak delivered. Mungkin dimatikan karena masih di dalam kelas.
Gue perhatikan message tsb baru sampai malam harinya.
Gak apa lah, toh akhirnya Fira nelpon gue siangnya dan untungnya dia belum terlambat untuk ikut Gamelan lesson.

Tiba2 siang ini datang sms dari Syafiqa berisi pesan : "Ur kid is ur own problem"


My God, anak ini sudah terlalu besar untuk tidak mengerti bahwa ini adalah kasar.
Tapi masih terlalu kecil untuk dihakimi.
Gue cuma bisa bengong, menatap HP gue dan terrified dengan kekhawatiran : Bagaimana anak ini 20 tahun kemudian kalau umur 9 tahun saja sudah seegois dan sekasar ini?

Apa yang anda lakukan kalau anda adalah saya?